LATAR HISTORIS DAN ASBAB AN-NUZUL AL-QUR’AN
Sudah difahami oleh seluruh ummat Islam, bahwa Al-Qur’an
merupakan kitab suci, pedoman hidup, juga sumber hukum yang
utama dan pertama bagi seluruh ajaran Islam serta berfungsi sebagai petunjuk atau
pedoman bagi umat manusia dalam mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di
akhirat[1].
Karena merupakan sumber hukum bagi umat Islam, sudah barang tentu Al-Qur’an akan terus dijadikan sandaran bagi setiap
muslim ketika akan memutuskan suatu perkara yang terjadi di sekitar ummat.
Ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup, di kalangan
ummat Islam tidak ada perbedaan dalam segala sesuatu. Semuanya bisa langsung
disampaikan kepada Nabi. Akan tetapi ketika Islam semakin menyebar ke berbagai
wilayah, terlebih sepeninggal Nabi, timbul berbagai persoalan. Mulai dari
perbedaan bacaan sampai perbedaan para shahabat, tabiit, tabiit tabiin dalam
mengartikan (menafsirkan) sebuah ayat. Meskipun mereka menyandarkan penafsiran
terhadap Hadits Nabi, namun tidak jarang penafsiran antara satu dengan yang
lainnya berbeda.
Zaman terus berkembang dengan pesat, Islam semakin
menyebar ke berbagai belahan dunia. Sudah barang tentu Islam terus
bersinggungan dengan berbagai budaya dan bahasa yang sangat jauh dengan kondisi
ketika Al-Qur’an diturunkan di Makkah dan Madinah. Hal ini menjadi sebuah
problem tersendiri bagi para ulama ketika ingin menyampaikan maksud dan tujuan
yang terkandung dalam al-Qur’an. Supaya tidak terjadi kekeliruan dalam membaca
dan memahami isi kandungan al-Qur’an, mulailah para ulama terdahulu menciptakan
berbagai ilmu untuk mempelajarinya. Ini dilakukan agar al-Qur’an tidak kehilangan ruhnya sebagai petunjuk bagi umat Islam dalam
menjalani kehidupan di dunia. Hal itulah yang melandasi
para ulama menciptakan Ulumul Qur’an agar ummat bisa mempelajarinya
secara menyeluruh. Bahkan, tidak sebatas mempelajari cara
membacanya saja (Ilmu Tajwid) juga mampu menafsirkannya dengan benar.
Supaya tidak terjadi kesalahan pemahaman dalam menangkap pesan serta penafsiran
al-Qur’an, lahirlah ilmu Asbab an-Nuzul.
Sebagaimana telah dicontohkan para sahabat di mana
mereka telah menyaksikan banyak peristiwa sejarah, bahkan kadang terjadi di
antara mereka peristiwa khusus yang memerlukan penjelasan hukum Allah atau
masih kabur bagi mereka. Kemudian mereka bertanya kepada Rasulullah untuk
mengetahui hukum Islam mengenai hal itu. Maka Al-Qur’an turun untuk peristiwa
khusus tadi atau untuk pertanyaan yang muncul itu. Hal seperti itulah yang
dinamakan asbab an-nuzul. [2]
Banyak alat bantu untuk memahami ayat atau pun
rangkaian ayat dalam Al-Qur’an. Semisal dengan menggunakan ‘Ilm I‘rab Al-Qur’an, ‘Ilm Garib Al-Qur’an, ‘Ilm Awqat an-Nuzul, ‘Ilm Asbab an-Nuzul, dan sebagainya. ‘Ilm Asbab an-Nuzul adalah di antara metode yang amat penting dalam memahami al-Qur’an dan menafsirinya. Seperti yang sudah
ditetapkan para ulama, bahwa al-Qur’an itu diturunkan dengan dua bagian. Satu
bagian diturunkan secara langsung, dan bagian ini merupakan mayoritas al-Qur’an. Bagian
kedua diturunkan setelah ada suatu kejadian atau permintaan, yang turun
mengiringi selama turunnya wahyu, yaitu selama tiga belas tahun. Bagian kedua
inilah yang akan di bahas berdasarkan sebab turunnya. Sebab, mengetahui sebab
turunnya dan seluk-beluk yang melingkupi nash,
akan membantu pemahaman dan apa yang akan dikehendaki dari nash itu.[3]
Namun demikian, perlu ditegaskan bahwa asbab an-nuzul tidak berhubungan secara kausal dengan materi
yang bersangkutan. Artinya, tidak di terima pernyataan bahwa jika suatu sebab
tidak ada, maka ayat itu tidak akan turun. Komarunddin Hidayat memposisikan
persoalan ini dengan menyatakan bahwa kitab suci Al-Qur’an, memang diyakini
memiliki dua dimensi; historis dan transhistoris. Kitab suci menjembatani jarak
antara Tuhan dan manusia. Tuhan hadir menyapa manusia di balik hijab kalam-Nya
yang kemudian menyejarah.[4]
B.
PEMBAHASAN
1.
Latar
Historis Turunnya Al-Qur’an
Menurut Abd Muqsith Ghazali, masyarakat semenanjung jazirah Arab
sebelum al-Qur’an diturunkan terkonsentrasi ke dalam dua ruang, kota dan desa.
Mereka yang tinggal di kota disebut Arab (al-‘Arab), sedangkan yang tinggal di
desa disebut A’rab (al-A’rab). Berbeda dengan masyarakat desa yang hidup di
tenda-tenda dan berpindah-pindah tempat tinggal, masyarakat kota cenderung
menetap dan memiliki tempat tinggal sendiri. Kehidupan masyarakat desa amat
tergantung kepada alam; mereka mendekati mata air untuk minum dan padang rumput
untuk makanan binatang gembalaannya. Dari binatang itu, mereka memerah susu,
memakan daging, dan memanfaatkan bulu-bulunya. Jika alam di sekitaran tak lagi
memberikan cukup makanan, mereka akan pindah ke daerah lain dengan suasana alam
yang masih perawan dan subur.[5] Karena
kehidupan yang selalu berpindah pindah dan selalu mencari daerah yang subur untuk
ditempati maka kekuatan fisik sangat penting. Selain itu terbatasnya daerah
subur mengakibatkan pertikaian antara suku yang satu dengan suku yang lainnya
untuk mendapatkan daerah yang mereka inginkan. Peperangan menjadi hal yang
biasa di kalangan mereka, bahkan menjadi ajang olah raga yang digemari.[6]
Pada masa itu, kaum wanita menempati kedudukan yang sangat rendah
sepanjang sejarah umat manusia. Para wanita tidak mendapatkan penghormatan
sosial dan tidak memiliki apapun. Bahkan ada suku yang memiliki tradisi suka
mengubur anak perempuan mereka hidup-hidup. Mereka merasa terhina memiliki
anak-anak perempuan. Muka mereka akan memerah bila mendengar istri mereka
melahirkan anak perempuan. Perbuatan itu mereka lakukan karena mereka merasa
malu dan khawatir anak perempuannya akan membawa kemiskinan dan kesengsaraan
dan kehinaan.[7]
Bukan hanya karena anak perempuan itu tak membanggakan secara sosial, melainkan
juga karena tak menghasilkan secara ekonomi. Anak perempuan itu tak bisa
mengangkat pedang, tak bisa memanah, dan tak pandai menunggang kuda untuk
berperang. Karena itu, menurut mereka, perempuan tak pantas untuk mendapatkan
waris bahkan ia adalah barang yang bisa diwariskan. Al-Qur’an pun merekam
kebiasaan sebagian masyarakat desa saat itu yang suka membunuh setiap bayi
perempuan yang lahir. Dalam suasan peperangan, tak tertutup
kemungkinan anak-anak perempuan itu akan menjadi tangkapan perang untuk
selanjutnya dijadikan budak. [8]
Sebagaimana dijelaskan dalam Surat al-Nahl ayat 58-59, “apabila
seseorang dari mereka diberi kabar gembira dengan kelahiran anak perempuan,
hitamlah (merah padamlah) mukanya dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan
dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan
kepadanya. Apakah ia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan
menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup). Ketahuilah, alangkah buruknya apa
yang mereka tetapkan itu”. Bahkan, perlakuan buruk terhadap perempuan ini
tak hanya terkonsentrasi di desa, melainkan juga dilakukan oleh sebagian
masyarakat kota.[9]
Sedangkan masyarakat kota Arab tampak lebih maju dan berperadaban.
Orang-orang kaya dari penduduk kota itu memakai pakaian yang halus, alas kaki
impor, sorban yang berkilau, mengkonsumsi makanan penuh gizi. Rumah mereka
penuh dengan perabot mewah seperti kristal. Mereka yang tinggal di Thaif dan
Yaman tak hanya bercocok tanam, tapi juga berbisnis. Bahkan, mereka kerap
melakukan perjalanan bisnis hingga ke luar daerah. Al-Qur’an merekam kebiasaan
pedagang-pedagang Quraish di Mekah yang suka bepergian untuk kepentingan bisnis
ke luar daerah tanpa mempedulikan musim.
Disebutkan dalam Surat al-Quraish ayat 1-2, “karena kebiasaan
orang-orang Quraish, yaitu kebiasaan mereka bepergian pada musim panas dan
dingin” (li ilafi Quraish, rihlah
al-syita’ wa al-shaif). Berbagai buku sejarah mengisahkan bahwa ketika
berumur sembilan tahun--ada yang berkata 12 tahun--, Muhammad SAW bersama
pamannya (Abu Thalib) pergi bersama kafilah saudagar ke negeri Syiria. Jauh
sebelum diangkat menjadi nabi, Muhammad ibn Abdullah juga aktif berkunjung ke
luar kota untuk kepentingan bisnis Khadijah (kelak menjadi istri Nabi
Muhammad).[10]
Selain itu Makkah juga merupakan daerah rute perdagangan antar negara. Dengan
dibukanya rute perdagangan ini memungkinkan Arab untuk berhubungan dengan dunia
luar seperti Romawi dan Persia yang pada saat itu lebih maju kebudayaannya
dibanding Arab. Dari Romawi mereka belajar tentang strategi perang sementara
dari Persia belajar berbagai ilmu pengetahuan.[11]
Hasil akulturasi keilmuan dan budaya, terjadi kemajuan keilmuan
yang dahsyat. Masyarakat kota sebagian sudah bisa membaca dan menulis. Mereka
dikenal pandai menggubah puisi bahkan secara spontan. Puisi-puisi yang terbaik
kemudian digantung di dinding Ka’bah disebut al-Mu’allaqat. Yang menarik, sekalipun Jazirah Arab terhampar cukup
luas, dalam percakapan sehari-hari, mereka menggunakan bahasa yang sama, yaitu
bahasa Arab. Dengan demikian, puisi-puisi hasil gubahan para penyair Yaman bisa
dengan mudah dipahami oleh orang-orang yang ada di Mekah. Dengan bahasa yang
sama itu juga orang Mekah tak perlu penterjemah untuk membangun komunikasi
bisnis dengan orang Yaman, Thaif, Yatsrib, dan Yamamah. Kehadiran al-Qur’an
yang berbahasa Arab itu menyebabkan al-Qur’an bisa dengan cepat tersebar ke
seluruh Jazirah Arab. Keindahan diksi al-Qur’an bisa dinikmati oleh masyarakat
Arab.[12]
Dari segi kehidupan keyakinan beragama, tidak seluruhnya sama.
Sebagian Arab yang hidup di pedalaman (badawah), banyak penganut animisme,
percaya kepada kekuatan alam. Mereka menyembah bulan dan bintang, bahkan banyak
ditemukan penyembah arwah leluhunya. Yang paling banyak adalah penyebah
berhala. Seperti yang terjadi di Makkah. Di Makkah mereka lebih senang menyembah
berhala sebagai tuhannya. Berhala-berhala tersebut mereka beri nama tersendiri,
bahkan terkadang masing-masing kabilah memiliki berhala andalan untuk disembah.
Diantara berhala-berhala mereka adalah Latta, Uzza, Manat, Qolas, Rudho,
Riam, dan lain-lain.[13] Akan
tetapi, selain mereka mempercayai hal-hal tersebut di atas, mereka juga
mempercayai adanya Allah (Tuhidiyah), Tuhan atau Dewa sebagai suatu kekuatan
transenden yang menguasai kehidupan mereka. Penyembahan mereka terhadap berhala
adalah sebagai sarana yang dapat mengantarkan doa mereka kepada Allah tersebut.
Ada juga penganut Judaisme, Zoroaster, dan Kristen. Namun kepercayaan ini tidak
begitu populer dan kurang diminati.
Selain itu, dalam system hubungan keluarga, masyarakat Arab
mengginakan system patriaki, yaitu sebuah sistem sosial yang menempatkan
laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran
kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial dan penguasaan properti. Dalam
domain keluarga, sosok yang disebut ayah memiliki otoritas terhadap perempuan,
anak-anak dan harta benda. Keberadaan seseorang dilihat dari segi kegagahan dan
kekuatan dalam menghadapi musuh. Dengan demikian keberadaan perempuan dan
anak-anak dijadikan kelas dua dalam struktur keluarga karena lemah.
Bahkan, karena terlalu mengagungkan suku (ashabiyyah) atas
suku yang lain, hal-hal yang sepele bisa memicu perang antar suku. Sehingga,
peperangan dan balas dendam antar suku sudah menjadi barang yang lumrah
terjadi. Disamping kebiasaan buruk lainnya, seperti berjudi, meminum minuman
keras dan pelacuran.[14]
Sifat-sifat seperti itulah yang kemudian disebut sebagai jahiliyah,
bukan berarti kebodohan dalam bidang intelektual tetapi kebodohan dari petunjuk
Ilahi dalam menuntun hidupnya.
Melihat adat kebiasaan bangsa Arab yang sudah jauh dari tatanan
kehidupan yang baik, kehadiran Nabi Muhammad dengan membawa al-Qur’an sangat
urgen. Dengan diangkatnya sebagai rasul, menurut Abd Muqsith Ghazali, Nabi
Muhammad diberi tugas untuk merubah semua kebiasaan kaum jahiliyah. Pertama,
merubah kepercayaan animisme dan paganisme yang dianut sebagian besar
bangsa Arab menjadi mentauhidkan Tuhan. Juga untuk mengukuhkan keyakinan ajaran
para nabi yang telah lama tumbuh di masyarakat Arab. Melanjutklan syariat nabi
terdahulu yang tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Kedua, jika sebelum
Islam, mereka bangga dan fanatik dengan gelar kesukuan seperti al-Taimi, al-‘Ady,
dan al-Najjary, maka setelah Islam datang mereka lebih bangga dengan gelar yang
berhubungan dengan moral seperti al-shiddiq (yang jujur), al-faruq
(pembeda antara yang benar dan yang salah), dan lain-lain. Mereka berpegang
pada surat al-Hujarat ayat 10 yang menyatakan : “seluruh orang beriman adalah bersaudara.”
Dan karenanya, peperangan antar suku pun turut mereda.
Dengan dasar ayat ini, Nabi Muhammad banyak mempersaudarakan umat
Islam, misalnya Abdurrahman dipersaudarakan dengan Sa’ad ibn Rabi’, Abu Bakar
dengan Kharijah ibn Zaid, Umar ibn Khattab dengan Utsman ibn Malik, Utsman ibn
Affan dengan Aus ibn Tsabit, Ammar ibn Yasir dengan Khudaifah ibn al-Yaman,
Thalhah ibn Abdullah dengan Ka’ab ibn Malik, Hamzah ibn Abdul Muthalib dengan Zaid
ibn Haritsah. Tidak kurang dari 80 sampai 90-an orang yang dipersaudarakan Nabi
Muhammad. Secara umum, Nabi mempersaudarakan kaum Muhajirin dan kaum Anshar.
Itu sebabnya, fanatisme tak lagi bersandar pada suku (tribalism) dan darah,
melainkan pada agama dan keyakinan Islam. Ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad
adalah titik temu seluruh orang beriman saat itu.[15]
Ketiga, kehadiran
al-Qur’an memberikan andil yang sangat besar dalam merubah pandangan rendahnya
perempuan. Bahkan, kehadirannya untuk menata relasi social antara laki-laki dan
perempuan. Sebelumnya, perempuan tak mendapatkan warisan, maka pada zaman Islam
perempuan (anak perempuan, istri, saudari perempuan) adalah ahli waris walau
tak sebanyak bagian laki-laki. Begitu juga, jika periode sebelum Islam
laki-laki bisa menikahi perempuan dalam jumlah yang tak terbatas, dengan
datangnya al-Qur’an dibatasi menjadi empat perempuan atau istri saja. Jika
sebelum Islam, perempuan boleh dibunuh, maka al-Qur’an menegaskan keharamannya
untuk membunuh jiwa. Ditegaskan dalam al-Qur’an, barangsiapa yang membunuh satu
jiwa, maka sama dengan membunuh semua jiwa. Dan barangsiapa menghidupkan satu
jiwa, maka sama dengan menghidupkan semua jiwa.
2.
Asbab
an-Nuzul
A.
Definisi
Asbab an-Nuzul
Secara etimologi, kata Asbab an-Nuzul secara etimologi terdiri dari
kata asbab dan an-nuzul, yang artinya sebab-sebab yang melatarbelakangi
terjadinya sesuatu. Meskipun fenomena yang melatarbelakangi terjadinya sesuatu
bisa disebut asbab an-nuzul, namun dalam pemakaiannya asbab an-nuzul khusus
dipakai untuk menyatakan sebab-sebab yang melatarbelakangi turunnya al-Qur’an,
seperti halnya asbab al-wurud yang secara khusus digunakan bagi sebab-sebab
terjadinya hadits.[16]
Sedangkan secara termonologi, antara ulama satu dengan yang lainnya
berbeda pengertian. Seperti menurut menurut Az-Zarqani dalam bukunya Manāhil
al-‘Urfān fī ‘Ulūm Al-Qur’ān, pengertian asbab an-nuzul adalah sesuatu yang
menyebabkan satu ayat atau beberapa ayat diturunkan untuk membicarakan sebab
atau menjelaskan hukum sebab tersebut pada masa terjadinya sebab itu.[17]
Subhi As-Salih mengartikannya sebagai berikut, sesuatu yang menjadi
sebab turunnya sebuah ayat atau beberapa ayat, atau suatu pertanyaan yang
menjadi sebab turunnya ayat sebagai jawaban, atau sebagai penjelasan yang
diturunkan pada waktu terjadinya suatu peristiwa.[18]
Sedangkan
Hasbi Ash-Siddieqy mendefinisikannya sebagai kejadian yang karenanya diturunkan
Al-Qur’ān untuk menerangkan hukumnya di hari timbul kejadian-kejadian itu dan
suasana yang di dalam suasana itu al-Qur’an diturunkan serta membicarakan sebab
yang tersebut itu, baik diturunkan langsung sesudah terjadi sebab itu, ataupun
kemudian lantaran sesuatu hikmat.[19]
Dari
beberapa definisi dan pengertian asbāb an-nuzūl di atas dapat dipahami bahwa
latar belakang turunnya ayat atau pun beberapa ayat Al-Qur’ān dikarenakan
adanya suatu peristiwa tertentu dan pertanyaan yang diajukan kepada Nabi SAW..
Adapun ayat yang diturunkan karena suatu peristiwa menurut Az-Zarqani ada tiga
bentuk.
Pertama, peristiwa
khushūmah (pertengkaran) yang sedang berlangsung, semisal perselisihan antara
kelompok Aus dan Khazraj yang disebabkan oleh rekayasa kaum Yahudi sampai
mereka berteriak: “as-silāh, as-silāh” (senjata, senjata). Dari kejadian ini
turunlah beberapa ayat dari surat Ali ‘Imrān yang di mulai dari ayat 100 hingga
beberapa ayat berikutnya.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا إِنْ تُطِيعُوا فَرِيقًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ يَرُدُّوكُمْ
بَعْدَ إِيمَانِكُمْ كَافِرِينَ
“Hai orang-orang yang beriman,
jika kamu mengikuti sebahagian dari orang-orang yang diberi Al-Kitab, niscaya
mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman (Ali
Imron : 100)
Kedua, peristiwa
berupa kesalahan seseorang yang tidak dapat di terima akal sehat. Seperti orang
yang masih mabuk mengimani salat sehingga ia salah dalam membaca surat
al-Kāfirūn. Kemudian turunlah ayat dari surat an-Nisā.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا
الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَىٰ حَتَّىٰ تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu salat, sedang kamu dalam keadaan
mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan” (An-Nisā: 43).
Ketiga, peristiwa mengenai cita-cita dan harapan, seperti muwāfaqāt
(persesuaian, kecocokan) Umar RA. Aku ada persesuaian dengan Tuhanku dalam tiga
perkara. Aku katakan kepada Rasulullah bagaimana kalau Maqām Ibrahim kita
jadikan tempat salat, maka turunlah ayat “Dan jadikanlah sebahagian maqām
Ibrahim tempat salat” (Al-Baqarah: 125). Dan aku berkata wahai Rasulullah:
“Sesungguhnya di antara orang-orang yang menemui istri-istrimu ada yang baik
(al-barru) dan ada yang jahat (al-fājir), bagaimana kalau anda memerintahkan
kepada mereka untuk membuat hijāb (tabir). Kemudian turunlah ayat hijāb, yakni
ayat dari surat al-Ah}zāb ayat 53.[20]
Sedangkan ayat atau pun ayat-ayat yang diturunkan karena ada pertanyaan
yang ditujukan kepada Nabi SAW juga ada tiga bentuk. Pertama, pertanyaan
tentang peristiwa yang sudah lampau, semisal firman Allah SWT. dalam surat
al-Kahfi ayat 83. “Mereka akan bertanya kepadamu (Muhammad) tentang
Zulkarnain. Katakanlah: “Aku akan bacakan kepadamu cerita tantangnya.”
Kedua, pertanyaan
tentang peristiwa yang sedang berlangsung, semisal firman Allah SWT. dalam
surat al-Isrā ayat 85. “Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh.
Katakanlah: “Roh itu termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi
pengetahuan melainkan sedikit”.
Ketiga, pertanyaan
tentang peristiwa yang akan datang, semisal firman Allah SWT. dalam surat
an-Nāzi‘āt ayat 42. “(Orang-orang kafir) bertanya kepadamu (Muhammad)
tentang hari kebangkitan, kapankah terjadinya.”[21]
B.
Jalan
untuk Mengetahui Asbab an-Nuzul
Al-Wahidi mengatakan bahwa tidak boleh berbicara tentang
sebab-sebab turun Al-Qur’ān kecuali dengan dasar riwayat dan mendengar dari
orang-orang yang menyaksikan turunnya ayat itu dan mengetahui sebab-sebab
turunnya serta membahas pengertiannya. Dari Ibnu Abbas berkata: “bahwa
Rasulullah SAW. bersabda: “Berhati-hatilah dalam berbicara (mengenai diriku),
kecuali apa yang telah kalian ketahui, maka barang siapa yang sengaja berdusta
atasku maka bersiap-siaplah untuk menempati tempat duduk dari api neraka, dan
barang siapa berdusta atas Al-Qur’ān tanpa mempunyai pengetahuan maka bersiap-siaplah
untuk menempati tempat duduk dari api neraka” (Dikeluarkan oleh Ahmad,
at-Tabrani dan at-Tirmizi).
Berdasarkan keterangan di atas, maka jika sabab an-nuzul
diriwayatkan dari seorang sahabat maka dapat di terima (maqbūl) sekalipun tidak
dikuatkan dan didukung dengan riwayat yang lain. Karena, perkataan sahabat
tidak ada celah untuk diijtihadkan dalam masalah ini dan sahabat adalah orang
yang melihat serta bertemu langsung dengan Rasulullah. Adapun jika sabab
an-nuzul diriwayatkan dengan hadis mursal, yaitu hadis yang sanadnya gugur dari
seorang sahabat dan hanya sampai kepada seorang tabi‘i, maka hukumnya tidak
dapat di terima kecuali sanadnya sahih dan dikuatkan oleh hadis mursal lainnya.
Dan perawinya harus dari imam-imam tafsir yang mengambil tafsirnya dari para
sahabat, seperti Mujahid, Ikrimah dan Sa‘id bin Jubair.[22]
Jelaslah bahwa cara untuk mengetahui sabab an-nuzul adalah melalui
hadis sahih maupun hadis mursal—dengan syarat sanadnya sahih dan harus
dikuatkan dengan hadis mursal yang lain—yang diriwayatkan oleh para sahabat
maupun tabi‘i. Karena, sahabat adalah orang yang menyaksikan dan bertemu
langsung dengan Rasulullah.
C.
Pentingnya
Asbab An-Nuzul
Seperti yang dikemukan sebelumya asbab al-nuzul, adalah suatu
peristiwa yang menjelaskan latar belakang sejarah yang menyebabkan
diturunkannya ayat-ayat Qur‟an. Dengan mengetahui latar peristiwa dari
diturunkannya Qur‟an, para penafsir sangat terbantu dalam memberikan
interpretasi terhadap suatu ayat dalam kaitannya dengan suatu masalah atau problem
yang ingin dipecahkan. Oleh karena itu, para ulama menyebutkan bahwa untuk
mengetahui tafsir sebuah ayat secara baik, maka niscaya untuk mengetahui
terlebih dahulu kisah dan latar belakang diturunkan ayat tersebut. Keniscayaan
untuk mengetahui asbab al-nuzul suatu ayat sebelum menafsirkan dan menyimpulkan
maknanya adalah hal yang sangat urgen agar penafsir tidak salah mengambil
kesimpulan dari suatu informasi ajaran Qur‟an.
Oleh karena itu, pengetahuan tentang sebab-sebab turunnya suatu
ayat, mengantar seseorang dapat memahami hikmah disyariatkannya suatu hukum.
Dengan mengetahui asbab al-nuzul seorang penafsir akan mampu memetakan
kekhususan suatu perkara, yang disebabkan oleh suatu sebab tertentu.
Pengetahuan terhadap sebab turunnya suatu ayat juga akan memberikan horizon dan
wawasan yang lebih konprehensip terhadap makna dari suatu ayat, atau dengan
kata lain, asumsi atau kesan yang seolah-olah rigid atau sempit dari informasi
suatu ayat dapat dihilangkan atau diminimalisasi.
Sebagai suatu contoh tentang rentannya penafsiran yang tidak
memperhatikan asbab nuzul, ialah penafsiran Usman bin Maz‟un dan Amr bin
Ma‟addi terhadap ayat 93 surat al-Ma‟idah (5);
لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ
آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ فِيمَا طَعِمُوا إِذَا مَا اتَّقَوْا وَآمَنُوا
وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
“Tidak
ada dosa bagi oang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh karena memakan
makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertaqwa serta beriman
dan beramal saleh....” (QS. Al-Maidah/5: 93)
Zahir ayat, kesannya membolehkan mereka menkonsumsi minuman khamar. Atas
dasar penafsiran yang melenceng terhadap makna ayat tersebut, al-Sayuti
kemudian berkomentar: seandainya mereka mengetahui sebab turunnya ayat ini,
tentunya mereka tidak akan mengatakan demikian. Sebab Ahmad al-Nasai dan
lainnya meriwayatkan bahwa; sebab turunnya ayat ini adalah orang-orang yang
ketika khamar diharamkan mempertanyakan nasib kaum Muslimin yang terbunuh di jalan Allah sedang mereka dahulunya
meminum khamar.[23]
Contoh lain tentang riskannya
menafsirkan Qur‟an tanpa mengetahui sebab turunnya suatu ayat, dapat dilihat pada
pemahaman sebagian ulama tentang posisi perempuan yang telah putus haid, apakah
masih memiliki iddah atau tidak, ketika memahami ayat 4 surat al-Thalaq;
“Perempuan-perempuan yang telah putus dari masa haid, jika kamu ragu-ragu
(tentang masa iddahnya), maka iddahnya tiga bulan ….
Sebagian ulama memahami ayat tersebut
dengan menyatakan perempuan yang telah putus haid tidak mempunyai masa iddah. Namun bila ayat ini dirujuk pada asbab nuzul-nya , maka dapat ditarik pemaknaan yang menunjukkan hal
sebaliknya, yaitu: perempuan yang telah putus masa haidnya tidak menyebabkan
masa iddah-nya hilang. Menurut al-Sabuni, ayat tersebut sebenarnya turun
sebagai respon kepada orang yang tidak mengerti atau memahami hukum yang
berkaitan dengan iddah seorang wanita, serta berada dalam keraguan apakah
mereka itu punya iddah atau tidak. Hal ini dapat dilihat pada makna teks ayat
tersebut; ” inirtab tum”, jika kamu kesulitan menghukum mereka dan tidak
mengerti pula bagaimana iddah mereka, dimana ayat ini turun setelah ada
sebagian sahabat mengatakan bahwa, iddah sebagian wanita yang berhenti masa
haidnya karena telah lanjut usia. Berkenaan dengan peristiwa tersebut maka turunlah
ayat tersebut untuk menerangkan hukum iddah masing-masing perempuan tersebut.
D.
Manfaat
Mengetahui Asbab An-Nuzul
Mayoritas ulama sepakat bahwa konteks sejarah yang melatarbelakangi
turunnya sebuah ayat al-Qur’an yang terkumpul dalam asbab an-nuzul al-Qur’an,
merupakan sebuah cara untuk memahami pesan yang terkandung di dalam al-Qur’an.
Hal ini bisa diartikan, tanpa mengetahui asbab an-nuzul, seseorang tidak akan
mampu menafsirkan sebuah ayat.
Menurut Rosihon Anwar, manfaat mengatahui asbab an-nuzul antara
lain adalah :
a.
Membantu
dalam memahami sekaligus mengatasi ketidakpastian dalam menangkap pesan
ayat-ayat al-Qur’an.
b.
Mengatasi
keraguan ayat yang diduga mengandung pengertia umum.
c.
Mengkhususkan
hukum yang terkandung dalam al-Qur’an
d.
Mengidentifikasi
pelaku yang menyebabkan al-Qur’an turun
e.
Memudahkan
untuk menghafal dan memahami ayat serta untuk memantapkan wahyu ke dalam hati
yang membacanya.
3.
Memahami
Asbab An-Nuzul di Era Kekinian
Pemaparan di atas menyampaikan kita pada sebuah kesimpulan umum bahwa
al-Qur’an turun dalam suatu konteks kesejarahan yang melatari kehadiran
al-Qur’an atau biasa di sebut asbab al-nuzul. Tak mungkin seseorang bisa mengerti
makna al-Qur’an tanpa mengetahui kisah dan sebab kehadirannya. Dan dengan
mengetahui asbab an-nuzul ini seseorang bisa menghindari kesalahan dalam
menginterpretasi ayat-ayat al-Qur’an.
Menurut Abd Muqsith Ghazali, asbab al-nuzul sendiri, ada yang
bersifat personal-individidual dan ada yang bersifat sosial, yaitu menyangkut
struktur dan relasi-relasi sosialekonomi-politik masyarakat Arab ketika
al-Qur’an itu turun. Itu sebabnya, para ulama mempersyarakatkan seorang
mujtahid adalah orang yang mengerti adat-kebiasaan bahkan sosio linguistik
masyarakat Arab. Dengan perkataan lain, seorang mujtahid tak cukup hanya
mengerti peristiwa-peristiwa personal yang menyertai turunnya al-Qur’an
melainkan juga perlu mengerti peristiwa-peristiwa struktural yang menjadi
lanskap kehadiran al-Qur’an.[24]
Kehadiran Islam di jazirah Arab tidak serta-merta merubah struktur
sosial dan keagamaan yang ada, akan tetapi kehadiran Islam adakalanya
memodifikasi adat kebiasaan masyarakat Arab dan dilanjutkan oleh Islam. Tapi,
ada juga yang dibuang karena sudah tak relevan dengan konteks zaman dan capaian
peradaban. Salah satu contoh dari tradisi masyarakat Arab pra-Islam yang
dimodifikasi untuk kemudian dilanjutkan oleh Islam adalah kebiasaan masyarakat
berthawaf di Ka’bah, sa’i, dan berkemah di sekitar bukit Arafah. Sementara
tradisi masyarakat Arab yang dibuang sama sekali adalah tradisi menyembah
berhala dan patung. Ungkapan Arab yang relavan adalah al-muhafazhah ‘ala
al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah (memelihara tradisi
lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik).
Islam tak menentang tradisi, tapi Islam menolak kecenderungan sekelompok
orang yang menuhankan tradisi. Al-Qur’an mengkritik kebiasaan masyarakat yang
menempatkan tradisi leluhur sebagai sesuatu yang benar tanpa perlu ada kritik.[25]
Kecenderungan masyarakat Arab yang menuhankan tradisi leluhur itu
dideskripsikan al-Qur’an dalam surat al-Zuhruf ayat 23-24, “Demikianlah,
Kami (Allah) tidak pernah mengutus sebelum engkau (Muhammad) seorang pemberi
peringatan (Rasul) dalam suatu negeri, melainkan orang yang hidup mewah di
negeri itu berkata, “sesungguhnya kami telah mendapatkan leluhur kami berjalan
di atas suatu tradisi, dan kami tentulah mengikuti jejak mereka”. Dia (Rasul)
itu berkata, “Apakah (kalian akan mengikuti mereka) sekalipun aku datang
kepadamu semua dengan yang lebih benar daripada yang kamu dapatkan leluhurmu
berada di atasnya?”. Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami menolak apa yang
menjadi tugasmu itu”.
Dalam pandangan al-Qur’an, tak seluruh unsur dalam tradisi itu baik.
Karena itu, bersikap kritis terhadap tradisi sangat dibutuhkan terutama untuk
kepentingan transformasi sosial. Semangat transformasi al-Qur’an yang demikian
itu, perlu terus diletastarikan dengan beberapa cara berikut. Pertama,
al-Qur’an tak cukup hanya dibaca untuk kepentingan ritual ibadah. Makna-makna terdalam
al-Qur’an harus diungkap demi kerja perlindungan terhadap kelompok yang
tertindas baik secara ekonomi maupun sosial-politik.
Kedua, kita perlu
mengetahui jenis-jenis transformasi yang ditempuh al-Qur’an. Suatu waktu
al-Qur’an menempuh perubahan secara radikal, dan pada waktu yang lain perubahan
itu dilakukan secara bertahap. Politeisme dalam semua bentuknya seperti
penyembahan berhala dikomplain al-Qur’an sejak awal. Konsep tauhid yang dikampanyekan
al-Qur’an tak dinegosiasikan dengan tradisi penyembahan patung dan berhala yang
sedang berlangsung di lingkungan masyarakat Arab ketika itu. Bahkan, disebut
dalam al-Qur’an bahwa dosa syirik adalah dosa yang tak terampuni. Allah
berfirman dalam al-Qur’an (al-Nisa’ [4]: 116), “Sesungguhnya Allah tak mengampuni dosa menyekutukan (sesuatu) dengan
Dia (Allah), dan Dia (Allah) mengampuni dosa yang selain syirik itu bagi siapa
saja yang dikendakinya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan
Allah, maka sesungguhnya yang bersangkutan telah tersesat sejauh-jauhnya”.
Ketiga, sikap
al-Qur’an berbeda dengan perilaku dan tindakan sosial yang tak terkait dengan
tauhid, justru al-Qur’an melakukan perubahan secara gradual. Seperti terhadap
adat kebiasaan masyarakat Arab yang telah turun temurun dalam meminum khamr
bahkan telah menjadi tradisi masyarakat Arab secara kolektif. Terhadap ini
al-Qur’an tidak mengharamkan secara sekaligus, tetapi mengawali dengan
menjelaskan sisi-sisi negatif dari minuman khamr, lalu tak diperkenankannya menimum
khamr ketika hendak shalat hingga dinyatakan bahwa meminum khmar itu adalah
haram.
Respon al-Qur’an seperti ini telah dipahami bahwa mengubah
kebiasaan masyarakat yang sudah mentradisi membutuhkan proses penahapan untuk
mengubahnya. Hal seperti ini perlu diadopsi bagi para pemangku kebijakan dalam
era modern, baik dalam hal keagamaan maupun dalam kebijakan publik. Artinya,
setiap pembuat kebijakan publik perlu memperhatikan kondisi obyektif dan
tingkat kesiapan masyarakat sekiranya sebuah undang-undang hendak diterapkan. Kebijakan
publik atau undang-undang yang dibuat tanpa memperhatikan keadaan masyarakat
yang menjadi obyek kebijakan itu hanya akan mengantarkan produk perundangan
tersebut berupa tumpukan kata-kata yang tak berguna.
C.
KESIMPULAN
Dari pemaparan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa antara
realitas kehidupan masyarakat Arab dengan al-Qur’an telah terjadi dialog yang
terus menerus. Teks tidak dapat membangun peradaban, yang membangun peradaban
adalah interaksi dan dialektika antar teks, manusia dan realitas dengan segala
unsur yang ada didalamnya (sosial, politik, ekonomi, budaya). Dan Alquran telah
membangun sebuah peradaban yang kokoh secara bertahap karena interaksi yang
serasi antar teks Alquran dengan realitas yang ada. Alquran, walaupun kita
ketahui sebagai teks kebahasaan, namun ia tidak mengandung dan mewakili
rangkaian huruf-huruf atau kata-kata semata, tetapi di dalamnya ia juga
mewakili seluruh realitas yang ada.
Dengan demikian, memisahkan teks dari realitasnya sama dengan
mengingkari kehidupan manusia kapanpun dan dimanapun ia berada, karena
kekacauan-kekacauan yang terjadi di masyarakat serta ketimpangan-ketimpangan
sosial akan terus ada selama manusia ada. Pesan dasar diturunkannya Alquran
adalah membawa pencerahan yang membebaskan dan berkeadilan bagi penganutnya dan
bukan kesusahan.
Masyarakat Muslim sekarang perlu berkaca kepada sejarah awal
Alquran diturunkan dengan semua kompleksitas permasalahan yang ada agar lebih
bijak dalam memberikan arahan yang dilandaskan dari ajaran utama Islam ini.
Pada kenyataannya, teks (Alquran) dan realitas tidak bisa dipisahkan, keduanya
saling terkait satu sama lain dan saling mengkritisi secara terus-menerus.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali, Muhammad, Fiqh Sirah,
(Kairo : Mtba’ah Hasan, 1998).
Al-Qattan, Manna Khalil, Studi
Ilmu-ilmu Qur`an, terj. Mudzakir (Bogor: Liera AntarNusa, 2007).
Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Jilid V (Kairo:
Quththo’ al-Tsaqofah, 1998).
Al-Sayuti, Jalaluddin, Al-Itqan
fi ‘Ulum al-Qur’an, (ttp. : Dar al-Fikr, tth).
Anwar, Rosihon, Ulumul Qur’an, (Bandung :
Pustaka Setia, 2012).
Ash-Shidieqy, Hasby, Sejarah dan Pengantar Ilmu
Al-Qur’an/Tafsir, (Jakarta : Bulan Bintang, 1980).
As-Shaleh, Subhi, Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an, terj.
Tim Pustaka Firdaus (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1999).
Az-Zarqani, Manāhil al-‘Urfān fī ‘Ulūm Al-Qur`ān (al-Qāhirah: Dār
al-Hadīs\, 2001).
Badruzaman, Abad, Dari Teologi Menuju Aksi; Membela
yang Lemah, Menggempur Kesenjangan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009).
Brockelman, Carl, History of Islamic
People, (New York: G.P. Putnam’s Son, 1944).
Chirzin, Muhammad, Al-Qur`an
dan Ulumul Qur`an (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 2003).
Ghazali, Abd Muqsih, Bumi Manusia Dalam Al-Qur’an, Jurnal
ULUMUL QUR’AN, Jurnal Kebudayaan dan Peradaban, (No. 01/XXI/2012).
Katsir, Ibnu. Al-Sirah
Al-Nabawiyyah. (Beirut: Dar al-Fikr, 1990).
Ridwan, Kafrawi, (ed.) et. al.,
Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002).
Riyani, Irma, Menelusi Latar Historis
Turunnya Al-Qur’an dan Proses Pembentukan Tatanan Masyarakat Islam,
Al-Bayan, Jurnal Studi Al-Qur’an dan Tafsir (Vol. I, No 1 Juni 216).
[1] Kafrawi Ridwan
(ed.) et. al., Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002),
hlm. 132.
[2] Manna Khalil
al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur`an, terj. Mudzakir (Bogor: Liera
AntarNusa, 2007), hlm. 106.
[3] Yaitu ilmu yang menguraikan fungsi dan posisi
kata dalam susunan kalimat Al-Qur`an.
[4] Muhammad Chirzin, Al-Qur`an
dan Ulumul Qur`an (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 2003), hlm. 30.
[5] Abd Muqsih Ghazali: Bumi Manusia Dalam Al-Qur’an, Jurnal
ULUMUL QUR’AN, Jurnal Kebudayaan dan Peradaban, (No. 01/XXI/2012), hal. 68.
[6] Carl Brockelman, History of Islamic
People, (New York: G.P. Putnam’s Son, 1944) hal 5.
[7] Lihat Abad Badruzaman, Dari Teologi Menuju
Aksi; Membela yang Lemah, Menggempur Kesenjangan, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2009), hlm. 9.
[8] Abd Muqsith …. hal 68
[9] Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Jilid V (Kairo: Quththo’ al-Tsaqofah, 1998) hal. 468-469.
[10] Abd Muqsith …. hal 69
[11] Irma Riyani, Menelusi Latar Historis Turunnya
Al-Qur’an dan Proses Pembentukan Tatanan Masyarakat Islam, Al-Bayan, Jurnal
Studi Al-Qur’an dan Tafsir (Vol. I, No 1 Juni 216) hal 30.
[12]Irma Riyani ….hal 30
[13]Ibnu Katsir. Al-Sirah Al-Nabawiyyah. (Beirut: Dar al-Fikr, 1990), hal 71.
[14]Muhammad al-Ghazali, Fiqh Sirah, (Kairo : Mtba’ah Hasan, 1998)
hal 25.
[15] Abd Muqsith Ghazali … hal 69
[16] Rosihon Anwar, Ulumul Qur’an, (Bandung : Pustaka Setia, 2012)
hal. 60.
[17]Az-Zarqani,
Manāhil al-‘Urfān fī ‘Ulūm Al-Qur`ān (al-Qāhirah: Dār al-Hadīs\, 2001), hlm.
95.
[18]Subhi as-Shaleh, Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an, terj. Tim
Pustaka Firdaus (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1999), hal. 160
[19]Hasby Ash-Shidieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir, (Jakarta
: Bulan Bintang, 1980), hal. 78.
[20] Az-Zarqoni, Manahil al-Irfan, hal. 96
[21] Ibid.
[22]Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an, hlm. 121.
[23] Jalaluddin
al-Sayuti, Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, (ttp. : Dar al-Fikr, tth), hlm. 29
[24] Abd Muqsith …. hal 71
[25] Ibid …. hal 81