Senin, 24 Januari 2022

Asbabunnuzul Al-Qur'an

 

LATAR HISTORIS DAN ASBAB AN-NUZUL AL-QUR’AN

 

 A.    PENDAHULUAN

 

Sudah difahami oleh seluruh ummat Islam, bahwa Al-Qur’an merupakan kitab suci, pedoman hidup, juga sumber hukum yang utama dan pertama bagi seluruh ajaran Islam serta berfungsi sebagai petunjuk atau pedoman bagi umat manusia dalam mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat[1]. Karena merupakan sumber hukum bagi umat Islam, sudah barang tentu Al-Qur’an akan terus dijadikan sandaran bagi setiap muslim ketika akan memutuskan suatu perkara yang terjadi di sekitar ummat.

Ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup, di kalangan ummat Islam tidak ada perbedaan dalam segala sesuatu. Semuanya bisa langsung disampaikan kepada Nabi. Akan tetapi ketika Islam semakin menyebar ke berbagai wilayah, terlebih sepeninggal Nabi, timbul berbagai persoalan. Mulai dari perbedaan bacaan sampai perbedaan para shahabat, tabiit, tabiit tabiin dalam mengartikan (menafsirkan) sebuah ayat. Meskipun mereka menyandarkan penafsiran terhadap Hadits Nabi, namun tidak jarang penafsiran antara satu dengan yang lainnya berbeda.

Zaman terus berkembang dengan pesat, Islam semakin menyebar ke berbagai belahan dunia. Sudah barang tentu Islam terus bersinggungan dengan berbagai budaya dan bahasa yang sangat jauh dengan kondisi ketika Al-Qur’an diturunkan di Makkah dan Madinah. Hal ini menjadi sebuah problem tersendiri bagi para ulama ketika ingin menyampaikan maksud dan tujuan yang terkandung dalam al-Qur’an. Supaya tidak terjadi kekeliruan dalam membaca dan memahami isi kandungan al-Qur’an, mulailah para ulama terdahulu menciptakan berbagai ilmu untuk mempelajarinya. Ini dilakukan agar al-Qur’an tidak kehilangan ruhnya sebagai petunjuk bagi umat Islam dalam menjalani kehidupan di dunia. Hal itulah yang melandasi para ulama menciptakan Ulumul Qur’an agar ummat bisa mempelajarinya secara menyeluruh. Bahkan, tidak sebatas mempelajari cara membacanya saja (Ilmu Tajwid) juga mampu menafsirkannya dengan benar. Supaya tidak terjadi kesalahan pemahaman dalam menangkap pesan serta penafsiran al-Qur’an, lahirlah ilmu Asbab an-Nuzul.

Sebagaimana telah dicontohkan para sahabat di mana mereka telah menyaksikan banyak peristiwa sejarah, bahkan kadang terjadi di antara mereka peristiwa khusus yang memerlukan penjelasan hukum Allah atau masih kabur bagi mereka. Kemudian mereka bertanya kepada Rasulullah untuk mengetahui hukum Islam mengenai hal itu. Maka Al-Qur’an turun untuk peristiwa khusus tadi atau untuk pertanyaan yang muncul itu. Hal seperti itulah yang dinamakan asbab an-nuzul. [2]

Banyak alat bantu untuk memahami ayat atau pun rangkaian ayat dalam Al-Qur’an. Semisal dengan menggunakan ‘Ilm I‘rab Al-Qur’an, Ilm Garib Al-Qur’an, Ilm Awqat an-Nuzul, Ilm Asbab an-Nuzul, dan sebagainya. ‘Ilm Asbab an-Nuzul adalah di antara metode yang amat penting dalam memahami al-Qur’an dan menafsirinya. Seperti yang sudah ditetapkan para ulama, bahwa al-Qur’an itu diturunkan dengan dua bagian. Satu bagian diturunkan secara langsung, dan bagian ini merupakan mayoritas al-Qur’an. Bagian kedua diturunkan setelah ada suatu kejadian atau permintaan, yang turun mengiringi selama turunnya wahyu, yaitu selama tiga belas tahun. Bagian kedua inilah yang akan di bahas berdasarkan sebab turunnya. Sebab, mengetahui sebab turunnya dan seluk-beluk yang melingkupi nash, akan membantu pemahaman dan apa yang akan dikehendaki dari nash itu.[3]

Namun demikian, perlu ditegaskan bahwa asbab an-nuzul tidak berhubungan secara kausal dengan materi yang bersangkutan. Artinya, tidak di terima pernyataan bahwa jika suatu sebab tidak ada, maka ayat itu tidak akan turun. Komarunddin Hidayat memposisikan persoalan ini dengan menyatakan bahwa kitab suci Al-Qur’an, memang diyakini memiliki dua dimensi; historis dan transhistoris. Kitab suci menjembatani jarak antara Tuhan dan manusia. Tuhan hadir menyapa manusia di balik hijab kalam-Nya yang kemudian menyejarah.[4]

 

B.     PEMBAHASAN

1.      Latar Historis Turunnya Al-Qur’an

Menurut Abd Muqsith Ghazali, masyarakat semenanjung jazirah Arab sebelum al-Qur’an diturunkan terkonsentrasi ke dalam dua ruang, kota dan desa. Mereka yang tinggal di kota disebut Arab (al-‘Arab), sedangkan yang tinggal di desa disebut A’rab (al-A’rab). Berbeda dengan masyarakat desa yang hidup di tenda-tenda dan berpindah-pindah tempat tinggal, masyarakat kota cenderung menetap dan memiliki tempat tinggal sendiri. Kehidupan masyarakat desa amat tergantung kepada alam; mereka mendekati mata air untuk minum dan padang rumput untuk makanan binatang gembalaannya. Dari binatang itu, mereka memerah susu, memakan daging, dan memanfaatkan bulu-bulunya. Jika alam di sekitaran tak lagi memberikan cukup makanan, mereka akan pindah ke daerah lain dengan suasana alam yang masih perawan dan subur.[5] Karena kehidupan yang selalu berpindah pindah dan selalu mencari daerah yang subur untuk ditempati maka kekuatan fisik sangat penting. Selain itu terbatasnya daerah subur mengakibatkan pertikaian antara suku yang satu dengan suku yang lainnya untuk mendapatkan daerah yang mereka inginkan. Peperangan menjadi hal yang biasa di kalangan mereka, bahkan menjadi ajang olah raga yang digemari.[6]

Pada masa itu, kaum wanita menempati kedudukan yang sangat rendah sepanjang sejarah umat manusia. Para wanita tidak mendapatkan penghormatan sosial dan tidak memiliki apapun. Bahkan ada suku yang memiliki tradisi suka mengubur anak perempuan mereka hidup-hidup. Mereka merasa terhina memiliki anak-anak perempuan. Muka mereka akan memerah bila mendengar istri mereka melahirkan anak perempuan. Perbuatan itu mereka lakukan karena mereka merasa malu dan khawatir anak perempuannya akan membawa kemiskinan dan kesengsaraan dan kehinaan.[7] Bukan hanya karena anak perempuan itu tak membanggakan secara sosial, melainkan juga karena tak menghasilkan secara ekonomi. Anak perempuan itu tak bisa mengangkat pedang, tak bisa memanah, dan tak pandai menunggang kuda untuk berperang. Karena itu, menurut mereka, perempuan tak pantas untuk mendapatkan waris bahkan ia adalah barang yang bisa diwariskan. Al-Qur’an pun merekam kebiasaan sebagian masyarakat desa saat itu yang suka membunuh setiap bayi perempuan yang lahir. Dalam suasan peperangan, tak tertutup kemungkinan anak-anak perempuan itu akan menjadi tangkapan perang untuk selanjutnya dijadikan budak. [8]

Sebagaimana dijelaskan dalam Surat al-Nahl ayat 58-59, “apabila seseorang dari mereka diberi kabar gembira dengan kelahiran anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah ia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup). Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu”. Bahkan, perlakuan buruk terhadap perempuan ini tak hanya terkonsentrasi di desa, melainkan juga dilakukan oleh sebagian masyarakat kota.[9]

Sedangkan masyarakat kota Arab tampak lebih maju dan berperadaban. Orang-orang kaya dari penduduk kota itu memakai pakaian yang halus, alas kaki impor, sorban yang berkilau, mengkonsumsi makanan penuh gizi. Rumah mereka penuh dengan perabot mewah seperti kristal. Mereka yang tinggal di Thaif dan Yaman tak hanya bercocok tanam, tapi juga berbisnis. Bahkan, mereka kerap melakukan perjalanan bisnis hingga ke luar daerah. Al-Qur’an merekam kebiasaan pedagang-pedagang Quraish di Mekah yang suka bepergian untuk kepentingan bisnis ke luar daerah tanpa mempedulikan musim.

Disebutkan dalam Surat al-Quraish ayat 1-2, “karena kebiasaan orang-orang Quraish, yaitu kebiasaan mereka bepergian pada musim panas dan dingin” (li ilafi Quraish, rihlah al-syita’ wa al-shaif). Berbagai buku sejarah mengisahkan bahwa ketika berumur sembilan tahun--ada yang berkata 12 tahun--, Muhammad SAW bersama pamannya (Abu Thalib) pergi bersama kafilah saudagar ke negeri Syiria. Jauh sebelum diangkat menjadi nabi, Muhammad ibn Abdullah juga aktif berkunjung ke luar kota untuk kepentingan bisnis Khadijah (kelak menjadi istri Nabi Muhammad).[10] Selain itu Makkah juga merupakan daerah rute perdagangan antar negara. Dengan dibukanya rute perdagangan ini memungkinkan Arab untuk berhubungan dengan dunia luar seperti Romawi dan Persia yang pada saat itu lebih maju kebudayaannya dibanding Arab. Dari Romawi mereka belajar tentang strategi perang sementara dari Persia belajar berbagai ilmu pengetahuan.[11]

Hasil akulturasi keilmuan dan budaya, terjadi kemajuan keilmuan yang dahsyat. Masyarakat kota sebagian sudah bisa membaca dan menulis. Mereka dikenal pandai menggubah puisi bahkan secara spontan. Puisi-puisi yang terbaik kemudian digantung di dinding Ka’bah disebut al-Mu’allaqat. Yang menarik, sekalipun Jazirah Arab terhampar cukup luas, dalam percakapan sehari-hari, mereka menggunakan bahasa yang sama, yaitu bahasa Arab. Dengan demikian, puisi-puisi hasil gubahan para penyair Yaman bisa dengan mudah dipahami oleh orang-orang yang ada di Mekah. Dengan bahasa yang sama itu juga orang Mekah tak perlu penterjemah untuk membangun komunikasi bisnis dengan orang Yaman, Thaif, Yatsrib, dan Yamamah. Kehadiran al-Qur’an yang berbahasa Arab itu menyebabkan al-Qur’an bisa dengan cepat tersebar ke seluruh Jazirah Arab. Keindahan diksi al-Qur’an bisa dinikmati oleh masyarakat Arab.[12]

Dari segi kehidupan keyakinan beragama, tidak seluruhnya sama. Sebagian Arab yang hidup di pedalaman (badawah), banyak penganut animisme, percaya kepada kekuatan alam. Mereka menyembah bulan dan bintang, bahkan banyak ditemukan penyembah arwah leluhunya. Yang paling banyak adalah penyebah berhala. Seperti yang terjadi di Makkah. Di Makkah mereka lebih senang menyembah berhala sebagai tuhannya. Berhala-berhala tersebut mereka beri nama tersendiri, bahkan terkadang masing-masing kabilah memiliki berhala andalan untuk disembah. Diantara berhala-berhala mereka adalah Latta, Uzza, Manat, Qolas, Rudho, Riam, dan lain-lain.[13] Akan tetapi, selain mereka mempercayai hal-hal tersebut di atas, mereka juga mempercayai adanya Allah (Tuhidiyah), Tuhan atau Dewa sebagai suatu kekuatan transenden yang menguasai kehidupan mereka. Penyembahan mereka terhadap berhala adalah sebagai sarana yang dapat mengantarkan doa mereka kepada Allah tersebut. Ada juga penganut Judaisme, Zoroaster, dan Kristen. Namun kepercayaan ini tidak begitu populer dan kurang diminati.

Selain itu, dalam system hubungan keluarga, masyarakat Arab mengginakan system patriaki, yaitu sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial dan penguasaan properti. Dalam domain keluarga, sosok yang disebut ayah memiliki otoritas terhadap perempuan, anak-anak dan harta benda. Keberadaan seseorang dilihat dari segi kegagahan dan kekuatan dalam menghadapi musuh. Dengan demikian keberadaan perempuan dan anak-anak dijadikan kelas dua dalam struktur keluarga karena lemah.

Bahkan, karena terlalu mengagungkan suku (ashabiyyah) atas suku yang lain, hal-hal yang sepele bisa memicu perang antar suku. Sehingga, peperangan dan balas dendam antar suku sudah menjadi barang yang lumrah terjadi. Disamping kebiasaan buruk lainnya, seperti berjudi, meminum minuman keras dan pelacuran.[14]

Sifat-sifat seperti itulah yang kemudian disebut sebagai jahiliyah, bukan berarti kebodohan dalam bidang intelektual tetapi kebodohan dari petunjuk Ilahi dalam menuntun hidupnya.

Melihat adat kebiasaan bangsa Arab yang sudah jauh dari tatanan kehidupan yang baik, kehadiran Nabi Muhammad dengan membawa al-Qur’an sangat urgen. Dengan diangkatnya sebagai rasul, menurut Abd Muqsith Ghazali, Nabi Muhammad diberi tugas untuk merubah semua kebiasaan kaum jahiliyah. Pertama, merubah kepercayaan animisme dan paganisme yang dianut sebagian besar bangsa Arab menjadi mentauhidkan Tuhan. Juga untuk mengukuhkan keyakinan ajaran para nabi yang telah lama tumbuh di masyarakat Arab. Melanjutklan syariat nabi terdahulu yang tidak bertentangan dengan syariat Islam.

Kedua, jika sebelum Islam, mereka bangga dan fanatik dengan gelar kesukuan seperti al-Taimi, al-‘Ady, dan al-Najjary, maka setelah Islam datang mereka lebih bangga dengan gelar yang berhubungan dengan moral seperti al-shiddiq (yang jujur), al-faruq (pembeda antara yang benar dan yang salah), dan lain-lain. Mereka berpegang pada surat al-Hujarat ayat 10 yang menyatakan : “seluruh orang beriman adalah bersaudara.” Dan karenanya, peperangan antar suku pun turut mereda.

Dengan dasar ayat ini, Nabi Muhammad banyak mempersaudarakan umat Islam, misalnya Abdurrahman dipersaudarakan dengan Sa’ad ibn Rabi’, Abu Bakar dengan Kharijah ibn Zaid, Umar ibn Khattab dengan Utsman ibn Malik, Utsman ibn Affan dengan Aus ibn Tsabit, Ammar ibn Yasir dengan Khudaifah ibn al-Yaman, Thalhah ibn Abdullah dengan Ka’ab ibn Malik, Hamzah ibn Abdul Muthalib dengan Zaid ibn Haritsah. Tidak kurang dari 80 sampai 90-an orang yang dipersaudarakan Nabi Muhammad. Secara umum, Nabi mempersaudarakan kaum Muhajirin dan kaum Anshar. Itu sebabnya, fanatisme tak lagi bersandar pada suku (tribalism) dan darah, melainkan pada agama dan keyakinan Islam. Ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad adalah titik temu seluruh orang beriman saat itu.[15]

Ketiga, kehadiran al-Qur’an memberikan andil yang sangat besar dalam merubah pandangan rendahnya perempuan. Bahkan, kehadirannya untuk menata relasi social antara laki-laki dan perempuan. Sebelumnya, perempuan tak mendapatkan warisan, maka pada zaman Islam perempuan (anak perempuan, istri, saudari perempuan) adalah ahli waris walau tak sebanyak bagian laki-laki. Begitu juga, jika periode sebelum Islam laki-laki bisa menikahi perempuan dalam jumlah yang tak terbatas, dengan datangnya al-Qur’an dibatasi menjadi empat perempuan atau istri saja. Jika sebelum Islam, perempuan boleh dibunuh, maka al-Qur’an menegaskan keharamannya untuk membunuh jiwa. Ditegaskan dalam al-Qur’an, barangsiapa yang membunuh satu jiwa, maka sama dengan membunuh semua jiwa. Dan barangsiapa menghidupkan satu jiwa, maka sama dengan menghidupkan semua jiwa.

 

 

 

2.      Asbab an-Nuzul

A.    Definisi Asbab an-Nuzul

Secara etimologi, kata Asbab an-Nuzul secara etimologi terdiri dari kata asbab dan an-nuzul, yang artinya sebab-sebab yang melatarbelakangi terjadinya sesuatu. Meskipun fenomena yang melatarbelakangi terjadinya sesuatu bisa disebut asbab an-nuzul, namun dalam pemakaiannya asbab an-nuzul khusus dipakai untuk menyatakan sebab-sebab yang melatarbelakangi turunnya al-Qur’an, seperti halnya asbab al-wurud yang secara khusus digunakan bagi sebab-sebab terjadinya hadits.[16]

Sedangkan secara termonologi, antara ulama satu dengan yang lainnya berbeda pengertian. Seperti menurut menurut Az-Zarqani dalam bukunya Manāhil al-‘Urfān fī ‘Ulūm Al-Qur’ān, pengertian asbab an-nuzul adalah sesuatu yang menyebabkan satu ayat atau beberapa ayat diturunkan untuk membicarakan sebab atau menjelaskan hukum sebab tersebut pada masa terjadinya sebab itu.[17]

Subhi As-Salih mengartikannya sebagai berikut, sesuatu yang menjadi sebab turunnya sebuah ayat atau beberapa ayat, atau suatu pertanyaan yang menjadi sebab turunnya ayat sebagai jawaban, atau sebagai penjelasan yang diturunkan pada waktu terjadinya suatu peristiwa.[18]

Sedangkan Hasbi Ash-Siddieqy mendefinisikannya sebagai kejadian yang karenanya diturunkan Al-Qur’ān untuk menerangkan hukumnya di hari timbul kejadian-kejadian itu dan suasana yang di dalam suasana itu al-Qur’an diturunkan serta membicarakan sebab yang tersebut itu, baik diturunkan langsung sesudah terjadi sebab itu, ataupun kemudian lantaran sesuatu hikmat.[19]

Dari beberapa definisi dan pengertian asbāb an-nuzūl di atas dapat dipahami bahwa latar belakang turunnya ayat atau pun beberapa ayat Al-Qur’ān dikarenakan adanya suatu peristiwa tertentu dan pertanyaan yang diajukan kepada Nabi SAW.. Adapun ayat yang diturunkan karena suatu peristiwa menurut Az-Zarqani ada tiga bentuk.

Pertama, peristiwa khushūmah (pertengkaran) yang sedang berlangsung, semisal perselisihan antara kelompok Aus dan Khazraj yang disebabkan oleh rekayasa kaum Yahudi sampai mereka berteriak: “as-silāh, as-silāh” (senjata, senjata). Dari kejadian ini turunlah beberapa ayat dari surat Ali ‘Imrān yang di mulai dari ayat 100 hingga beberapa ayat berikutnya.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تُطِيعُوا فَرِيقًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ يَرُدُّوكُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ كَافِرِينَ
 

“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari orang-orang yang diberi Al-Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman (Ali Imron : 100)

 

Kedua, peristiwa berupa kesalahan seseorang yang tidak dapat di terima akal sehat. Seperti orang yang masih mabuk mengimani salat sehingga ia salah dalam membaca surat al-Kāfirūn. Kemudian turunlah ayat dari surat an-Nisā.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَىٰ حَتَّىٰ تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu salat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan” (An-Nisā: 43).

 

Ketiga, peristiwa mengenai cita-cita dan harapan, seperti muwāfaqāt (persesuaian, kecocokan) Umar RA. Aku ada persesuaian dengan Tuhanku dalam tiga perkara. Aku katakan kepada Rasulullah bagaimana kalau Maqām Ibrahim kita jadikan tempat salat, maka turunlah ayat “Dan jadikanlah sebahagian maqām Ibrahim tempat salat” (Al-Baqarah: 125). Dan aku berkata wahai Rasulullah: “Sesungguhnya di antara orang-orang yang menemui istri-istrimu ada yang baik (al-barru) dan ada yang jahat (al-fājir), bagaimana kalau anda memerintahkan kepada mereka untuk membuat hijāb (tabir). Kemudian turunlah ayat hijāb, yakni ayat dari surat al-Ah}zāb ayat 53.[20]

Sedangkan ayat atau pun ayat-ayat yang diturunkan karena ada pertanyaan yang ditujukan kepada Nabi SAW juga ada tiga bentuk. Pertama, pertanyaan tentang peristiwa yang sudah lampau, semisal firman Allah SWT. dalam surat al-Kahfi ayat 83. “Mereka akan bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Zulkarnain. Katakanlah: “Aku akan bacakan kepadamu cerita tantangnya.”

 

Kedua, pertanyaan tentang peristiwa yang sedang berlangsung, semisal firman Allah SWT. dalam surat al-Isrā ayat 85. “Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”.

Ketiga, pertanyaan tentang peristiwa yang akan datang, semisal firman Allah SWT. dalam surat an-Nāzi‘āt ayat 42. “(Orang-orang kafir) bertanya kepadamu (Muhammad) tentang hari kebangkitan, kapankah terjadinya.”[21]

 

B.     Jalan untuk Mengetahui Asbab an-Nuzul

Al-Wahidi mengatakan bahwa tidak boleh berbicara tentang sebab-sebab turun Al-Qur’ān kecuali dengan dasar riwayat dan mendengar dari orang-orang yang menyaksikan turunnya ayat itu dan mengetahui sebab-sebab turunnya serta membahas pengertiannya. Dari Ibnu Abbas berkata: “bahwa Rasulullah SAW. bersabda: “Berhati-hatilah dalam berbicara (mengenai diriku), kecuali apa yang telah kalian ketahui, maka barang siapa yang sengaja berdusta atasku maka bersiap-siaplah untuk menempati tempat duduk dari api neraka, dan barang siapa berdusta atas Al-Qur’ān tanpa mempunyai pengetahuan maka bersiap-siaplah untuk menempati tempat duduk dari api neraka” (Dikeluarkan oleh Ahmad, at-Tabrani dan at-Tirmizi).

Berdasarkan keterangan di atas, maka jika sabab an-nuzul diriwayatkan dari seorang sahabat maka dapat di terima (maqbūl) sekalipun tidak dikuatkan dan didukung dengan riwayat yang lain. Karena, perkataan sahabat tidak ada celah untuk diijtihadkan dalam masalah ini dan sahabat adalah orang yang melihat serta bertemu langsung dengan Rasulullah. Adapun jika sabab an-nuzul diriwayatkan dengan hadis mursal, yaitu hadis yang sanadnya gugur dari seorang sahabat dan hanya sampai kepada seorang tabi‘i, maka hukumnya tidak dapat di terima kecuali sanadnya sahih dan dikuatkan oleh hadis mursal lainnya. Dan perawinya harus dari imam-imam tafsir yang mengambil tafsirnya dari para sahabat, seperti Mujahid, Ikrimah dan Sa‘id bin Jubair.[22]

Jelaslah bahwa cara untuk mengetahui sabab an-nuzul adalah melalui hadis sahih maupun hadis mursal—dengan syarat sanadnya sahih dan harus dikuatkan dengan hadis mursal yang lain—yang diriwayatkan oleh para sahabat maupun tabi‘i. Karena, sahabat adalah orang yang menyaksikan dan bertemu langsung dengan Rasulullah.

 

C.     Pentingnya Asbab An-Nuzul

Seperti yang dikemukan sebelumya asbab al-nuzul, adalah suatu peristiwa yang menjelaskan latar belakang sejarah yang menyebabkan diturunkannya ayat-ayat Qur‟an. Dengan mengetahui latar peristiwa dari diturunkannya Qur‟an, para penafsir sangat terbantu dalam memberikan interpretasi terhadap suatu ayat dalam kaitannya dengan suatu masalah atau problem yang ingin dipecahkan. Oleh karena itu, para ulama menyebutkan bahwa untuk mengetahui tafsir sebuah ayat secara baik, maka niscaya untuk mengetahui terlebih dahulu kisah dan latar belakang diturunkan ayat tersebut. Keniscayaan untuk mengetahui asbab al-nuzul suatu ayat sebelum menafsirkan dan menyimpulkan maknanya adalah hal yang sangat urgen agar penafsir tidak salah mengambil kesimpulan dari suatu informasi ajaran Qur‟an.

Oleh karena itu, pengetahuan tentang sebab-sebab turunnya suatu ayat, mengantar seseorang dapat memahami hikmah disyariatkannya suatu hukum. Dengan mengetahui asbab al-nuzul seorang penafsir akan mampu memetakan kekhususan suatu perkara, yang disebabkan oleh suatu sebab tertentu. Pengetahuan terhadap sebab turunnya suatu ayat juga akan memberikan horizon dan wawasan yang lebih konprehensip terhadap makna dari suatu ayat, atau dengan kata lain, asumsi atau kesan yang seolah-olah rigid atau sempit dari informasi suatu ayat dapat dihilangkan atau diminimalisasi.

Sebagai suatu contoh tentang rentannya penafsiran yang tidak memperhatikan asbab nuzul, ialah penafsiran Usman bin Maz‟un dan Amr bin Ma‟addi terhadap ayat 93 surat al-Ma‟idah (5);

لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ فِيمَا طَعِمُوا إِذَا مَا اتَّقَوْا وَآمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ

 “Tidak ada dosa bagi oang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertaqwa serta beriman dan beramal saleh....” (QS. Al-Maidah/5: 93)

Zahir ayat, kesannya membolehkan mereka menkonsumsi minuman khamar. Atas dasar penafsiran yang melenceng terhadap makna ayat tersebut, al-Sayuti kemudian berkomentar: seandainya mereka mengetahui sebab turunnya ayat ini, tentunya mereka tidak akan mengatakan demikian. Sebab Ahmad al-Nasai dan lainnya meriwayatkan bahwa; sebab turunnya ayat ini adalah orang-orang yang ketika khamar diharamkan mempertanyakan nasib kaum Muslimin yang terbunuh di jalan Allah sedang mereka dahulunya meminum khamar.[23]

Contoh lain tentang riskannya menafsirkan Qur‟an tanpa mengetahui sebab turunnya suatu ayat, dapat dilihat pada pemahaman sebagian ulama tentang posisi perempuan yang telah putus haid, apakah masih memiliki iddah atau tidak, ketika memahami ayat 4 surat al-Thalaq; “Perempuan-perempuan yang telah putus dari masa haid, jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka iddahnya tiga bulan ….

Sebagian ulama memahami ayat tersebut dengan menyatakan perempuan yang telah putus haid tidak mempunyai masa iddah. Namun bila ayat ini dirujuk pada asbab nuzul-nya , maka dapat ditarik pemaknaan yang menunjukkan hal sebaliknya, yaitu: perempuan yang telah putus masa haidnya tidak menyebabkan masa iddah-nya hilang. Menurut al-Sabuni, ayat tersebut sebenarnya turun sebagai respon kepada orang yang tidak mengerti atau memahami hukum yang berkaitan dengan iddah seorang wanita, serta berada dalam keraguan apakah mereka itu punya iddah atau tidak. Hal ini dapat dilihat pada makna teks ayat tersebut; ” inirtab tum”, jika kamu kesulitan menghukum mereka dan tidak mengerti pula bagaimana iddah mereka, dimana ayat ini turun setelah ada sebagian sahabat mengatakan bahwa, iddah sebagian wanita yang berhenti masa haidnya karena telah lanjut usia. Berkenaan dengan peristiwa tersebut maka turunlah ayat tersebut untuk menerangkan hukum iddah masing-masing perempuan tersebut.

 

D.    Manfaat Mengetahui Asbab An-Nuzul

Mayoritas ulama sepakat bahwa konteks sejarah yang melatarbelakangi turunnya sebuah ayat al-Qur’an yang terkumpul dalam asbab an-nuzul al-Qur’an, merupakan sebuah cara untuk memahami pesan yang terkandung di dalam al-Qur’an. Hal ini bisa diartikan, tanpa mengetahui asbab an-nuzul, seseorang tidak akan mampu menafsirkan sebuah ayat.

Menurut Rosihon Anwar, manfaat mengatahui asbab an-nuzul antara lain adalah :

a.       Membantu dalam memahami sekaligus mengatasi ketidakpastian dalam menangkap pesan ayat-ayat al-Qur’an.

b.      Mengatasi keraguan ayat yang diduga mengandung pengertia umum.

c.       Mengkhususkan hukum yang terkandung dalam al-Qur’an

d.      Mengidentifikasi pelaku yang menyebabkan al-Qur’an turun

e.       Memudahkan untuk menghafal dan memahami ayat serta untuk memantapkan wahyu ke dalam hati yang membacanya.

 

3.      Memahami Asbab An-Nuzul di Era Kekinian

Pemaparan di atas menyampaikan kita pada sebuah kesimpulan umum bahwa al-Qur’an turun dalam suatu konteks kesejarahan yang melatari kehadiran al-Qur’an atau biasa di sebut asbab al-nuzul. Tak mungkin seseorang bisa mengerti makna al-Qur’an tanpa mengetahui kisah dan sebab kehadirannya. Dan dengan mengetahui asbab an-nuzul ini seseorang bisa menghindari kesalahan dalam menginterpretasi ayat-ayat al-Qur’an.

Menurut Abd Muqsith Ghazali, asbab al-nuzul sendiri, ada yang bersifat personal-individidual dan ada yang bersifat sosial, yaitu menyangkut struktur dan relasi-relasi sosialekonomi-politik masyarakat Arab ketika al-Qur’an itu turun. Itu sebabnya, para ulama mempersyarakatkan seorang mujtahid adalah orang yang mengerti adat-kebiasaan bahkan sosio linguistik masyarakat Arab. Dengan perkataan lain, seorang mujtahid tak cukup hanya mengerti peristiwa-peristiwa personal yang menyertai turunnya al-Qur’an melainkan juga perlu mengerti peristiwa-peristiwa struktural yang menjadi lanskap kehadiran al-Qur’an.[24]

Kehadiran Islam di jazirah Arab tidak serta-merta merubah struktur sosial dan keagamaan yang ada, akan tetapi kehadiran Islam adakalanya memodifikasi adat kebiasaan masyarakat Arab dan dilanjutkan oleh Islam. Tapi, ada juga yang dibuang karena sudah tak relevan dengan konteks zaman dan capaian peradaban. Salah satu contoh dari tradisi masyarakat Arab pra-Islam yang dimodifikasi untuk kemudian dilanjutkan oleh Islam adalah kebiasaan masyarakat berthawaf di Ka’bah, sa’i, dan berkemah di sekitar bukit Arafah. Sementara tradisi masyarakat Arab yang dibuang sama sekali adalah tradisi menyembah berhala dan patung. Ungkapan Arab yang relavan adalah al-muhafazhah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah (memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik).

Islam tak menentang tradisi, tapi Islam menolak kecenderungan sekelompok orang yang menuhankan tradisi. Al-Qur’an mengkritik kebiasaan masyarakat yang menempatkan tradisi leluhur sebagai sesuatu yang benar tanpa perlu ada kritik.[25] Kecenderungan masyarakat Arab yang menuhankan tradisi leluhur itu dideskripsikan al-Qur’an dalam surat al-Zuhruf ayat 23-24, “Demikianlah, Kami (Allah) tidak pernah mengutus sebelum engkau (Muhammad) seorang pemberi peringatan (Rasul) dalam suatu negeri, melainkan orang yang hidup mewah di negeri itu berkata, “sesungguhnya kami telah mendapatkan leluhur kami berjalan di atas suatu tradisi, dan kami tentulah mengikuti jejak mereka”. Dia (Rasul) itu berkata, “Apakah (kalian akan mengikuti mereka) sekalipun aku datang kepadamu semua dengan yang lebih benar daripada yang kamu dapatkan leluhurmu berada di atasnya?”. Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami menolak apa yang menjadi tugasmu itu”.

Dalam pandangan al-Qur’an, tak seluruh unsur dalam tradisi itu baik. Karena itu, bersikap kritis terhadap tradisi sangat dibutuhkan terutama untuk kepentingan transformasi sosial. Semangat transformasi al-Qur’an yang demikian itu, perlu terus diletastarikan dengan beberapa cara berikut. Pertama, al-Qur’an tak cukup hanya dibaca untuk kepentingan ritual ibadah. Makna-makna terdalam al-Qur’an harus diungkap demi kerja perlindungan terhadap kelompok yang tertindas baik secara ekonomi maupun sosial-politik.

Kedua, kita perlu mengetahui jenis-jenis transformasi yang ditempuh al-Qur’an. Suatu waktu al-Qur’an menempuh perubahan secara radikal, dan pada waktu yang lain perubahan itu dilakukan secara bertahap. Politeisme dalam semua bentuknya seperti penyembahan berhala dikomplain al-Qur’an sejak awal. Konsep tauhid yang dikampanyekan al-Qur’an tak dinegosiasikan dengan tradisi penyembahan patung dan berhala yang sedang berlangsung di lingkungan masyarakat Arab ketika itu. Bahkan, disebut dalam al-Qur’an bahwa dosa syirik adalah dosa yang tak terampuni. Allah berfirman dalam al-Qur’an (al-Nisa’ [4]: 116), “Sesungguhnya Allah tak mengampuni dosa menyekutukan (sesuatu) dengan Dia (Allah), dan Dia (Allah) mengampuni dosa yang selain syirik itu bagi siapa saja yang dikendakinya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya yang bersangkutan telah tersesat sejauh-jauhnya”.

Ketiga, sikap al-Qur’an berbeda dengan perilaku dan tindakan sosial yang tak terkait dengan tauhid, justru al-Qur’an melakukan perubahan secara gradual. Seperti terhadap adat kebiasaan masyarakat Arab yang telah turun temurun dalam meminum khamr bahkan telah menjadi tradisi masyarakat Arab secara kolektif. Terhadap ini al-Qur’an tidak mengharamkan secara sekaligus, tetapi mengawali dengan menjelaskan sisi-sisi negatif dari minuman khamr, lalu tak diperkenankannya menimum khamr ketika hendak shalat hingga dinyatakan bahwa meminum khmar itu adalah haram.

Respon al-Qur’an seperti ini telah dipahami bahwa mengubah kebiasaan masyarakat yang sudah mentradisi membutuhkan proses penahapan untuk mengubahnya. Hal seperti ini perlu diadopsi bagi para pemangku kebijakan dalam era modern, baik dalam hal keagamaan maupun dalam kebijakan publik. Artinya, setiap pembuat kebijakan publik perlu memperhatikan kondisi obyektif dan tingkat kesiapan masyarakat sekiranya sebuah undang-undang hendak diterapkan. Kebijakan publik atau undang-undang yang dibuat tanpa memperhatikan keadaan masyarakat yang menjadi obyek kebijakan itu hanya akan mengantarkan produk perundangan tersebut berupa tumpukan kata-kata yang tak berguna.

 

C.    KESIMPULAN

Dari pemaparan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa antara realitas kehidupan masyarakat Arab dengan al-Qur’an telah terjadi dialog yang terus menerus. Teks tidak dapat membangun peradaban, yang membangun peradaban adalah interaksi dan dialektika antar teks, manusia dan realitas dengan segala unsur yang ada didalamnya (sosial, politik, ekonomi, budaya). Dan Alquran telah membangun sebuah peradaban yang kokoh secara bertahap karena interaksi yang serasi antar teks Alquran dengan realitas yang ada. Alquran, walaupun kita ketahui sebagai teks kebahasaan, namun ia tidak mengandung dan mewakili rangkaian huruf-huruf atau kata-kata semata, tetapi di dalamnya ia juga mewakili seluruh realitas yang ada.

Dengan demikian, memisahkan teks dari realitasnya sama dengan mengingkari kehidupan manusia kapanpun dan dimanapun ia berada, karena kekacauan-kekacauan yang terjadi di masyarakat serta ketimpangan-ketimpangan sosial akan terus ada selama manusia ada. Pesan dasar diturunkannya Alquran adalah membawa pencerahan yang membebaskan dan berkeadilan bagi penganutnya dan bukan kesusahan.

Masyarakat Muslim sekarang perlu berkaca kepada sejarah awal Alquran diturunkan dengan semua kompleksitas permasalahan yang ada agar lebih bijak dalam memberikan arahan yang dilandaskan dari ajaran utama Islam ini. Pada kenyataannya, teks (Alquran) dan realitas tidak bisa dipisahkan, keduanya saling terkait satu sama lain dan saling mengkritisi secara terus-menerus.


 

DAFTAR PUSTAKA

 

Al-Ghazali, Muhammad, Fiqh Sirah, (Kairo : Mtba’ah Hasan, 1998).

Al-Qattan, Manna Khalil, Studi Ilmu-ilmu Qur`an, terj. Mudzakir (Bogor: Liera AntarNusa, 2007).

Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Jilid V (Kairo: Quththo’ al-Tsaqofah, 1998).

Al-Sayuti, Jalaluddin, Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, (ttp. : Dar al-Fikr, tth).

Anwar, Rosihon, Ulumul Qur’an, (Bandung : Pustaka Setia, 2012).

Ash-Shidieqy, Hasby, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir, (Jakarta : Bulan Bintang, 1980).

As-Shaleh, Subhi, Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an, terj. Tim Pustaka Firdaus (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1999).

Az-Zarqani, Manāhil al-‘Urfān fī ‘Ulūm Al-Qur`ān (al-Qāhirah: Dār al-Hadīs\, 2001).

Badruzaman, Abad, Dari Teologi Menuju Aksi; Membela yang Lemah, Menggempur Kesenjangan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009).

Brockelman, Carl, History of Islamic People, (New York: G.P. Putnam’s Son, 1944).

Chirzin, Muhammad, Al-Qur`an dan Ulumul Qur`an (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 2003).

Ghazali, Abd Muqsih, Bumi Manusia Dalam Al-Qur’an, Jurnal ULUMUL QUR’AN, Jurnal Kebudayaan dan Peradaban, (No. 01/XXI/2012).

Katsir, Ibnu. Al-Sirah Al-Nabawiyyah. (Beirut: Dar al-Fikr, 1990).

Ridwan, Kafrawi, (ed.) et. al., Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002).

Riyani, Irma, Menelusi Latar Historis Turunnya Al-Qur’an dan Proses Pembentukan Tatanan Masyarakat Islam, Al-Bayan, Jurnal Studi Al-Qur’an dan Tafsir (Vol. I, No 1 Juni 216).



[1] Kafrawi Ridwan (ed.) et. al., Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), hlm. 132.

[2] Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur`an, terj. Mudzakir (Bogor: Liera AntarNusa, 2007), hlm. 106.

[3] Yaitu ilmu yang menguraikan fungsi dan posisi kata dalam susunan kalimat Al-Qur`an.

[4] Muhammad Chirzin, Al-Qur`an dan Ulumul Qur`an (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 2003), hlm. 30.

[5] Abd Muqsih Ghazali: Bumi Manusia Dalam Al-Qur’an, Jurnal ULUMUL QUR’AN, Jurnal Kebudayaan dan Peradaban, (No. 01/XXI/2012), hal. 68.

[6] Carl Brockelman, History of Islamic People, (New York: G.P. Putnam’s Son, 1944) hal 5.

[7] Lihat Abad Badruzaman, Dari Teologi Menuju Aksi; Membela yang Lemah, Menggempur Kesenjangan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 9.

[8] Abd Muqsith …. hal 68

[9] Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Jilid V (Kairo: Quththo’ al-Tsaqofah, 1998) hal. 468-469.

[10] Abd Muqsith …. hal 69

[11] Irma Riyani, Menelusi Latar Historis Turunnya Al-Qur’an dan Proses Pembentukan Tatanan Masyarakat Islam, Al-Bayan, Jurnal Studi Al-Qur’an dan Tafsir (Vol. I, No 1 Juni 216) hal 30.

[12]Irma Riyani ….hal 30

[13]Ibnu Katsir. Al-Sirah Al-Nabawiyyah. (Beirut: Dar al-Fikr, 1990), hal 71.

[14]Muhammad al-Ghazali, Fiqh Sirah, (Kairo : Mtba’ah Hasan, 1998) hal 25.

[15] Abd Muqsith Ghazali … hal 69

[16] Rosihon Anwar, Ulumul Qur’an, (Bandung : Pustaka Setia, 2012) hal. 60.

[17]Az-Zarqani, Manāhil al-‘Urfān fī ‘Ulūm Al-Qur`ān (al-Qāhirah: Dār al-Hadīs\, 2001), hlm. 95.

[18]Subhi as-Shaleh, Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an, terj. Tim Pustaka Firdaus (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1999), hal. 160

[19]Hasby Ash-Shidieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir, (Jakarta : Bulan Bintang, 1980), hal. 78.

[20] Az-Zarqoni, Manahil al-Irfan, hal. 96

[21] Ibid.

[22]Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an, hlm. 121.

[23] Jalaluddin al-Sayuti, Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, (ttp. : Dar al-Fikr, tth), hlm. 29

[24] Abd Muqsith …. hal 71

[25] Ibid …. hal 81

Tidak ada komentar:

Posting Komentar