A. PENDAHULUAN
Sesungguhnya manusia itu makhluk ruhani
yang sedang menjalani kehidupan jasmani. Jasmani pada hakikatnya hanyalah
kemasan yang akan rusak dan ditinggalkan. Pada akhirnya manusia akan
melanjutkan kehidupan, setelah di kehidupan dunia ini, yang lebih berkwalitas
menitik-beratkan pada kesempurnaan kehidupan ruhani yang abadi.
Tidak sulit bagi Allah memilih diantara
hamba-hamba-Nya untuk menjadi pesuruh-Nya, menyampaikan wahyu terhadapnya
melalui berbagai cara agar menjadi “Penyambung lidah Tuhan” dalam
kerangka mewarnai peradaban dengan meneladani perangai-Nya.
Sebagai sumber kebenaran yang diyakini
wahyu menjadi landasan sentral dalam keimanan mukminin. Kendati sebagian
ilmuwan tidak memungkiri peran akal dalam pencarian kebenaran, namun ada banyak
persoalan yang tidak dapat dijangkau dengan akal semata, umpamanya masalah
keghaiban. Firman-Nya:
سَنُرِيهِمْ
آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ
الْحَقُّ
Terjemahannya: “Kami
akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda
(kekuasaan) Kami di segala
wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga
jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar.” ( Q.S. Fushilat: 53 ).
Dan firman-Ny:
وَمَا
أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا
Terjemahannya: “dan
tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (
Q.S. Al-Isra: 85 ).
Para filosof Muslim menjadikan akal
sebagai piranti untuk memahami teks-teks yang bersifat mutasyabih, mubham,
mujmal dan berbagai term yang memerlukan pengerahan akal dalam penyingkapannya.
Alih-alih dengan berhenti teks-teks Al-Quran diturunkan dari langit, sedangkan
problematika kehidupan yang penuh dinamika mendatangkan persoalan-persoalan
yang kompleks dan membutuhkan status hukum ditilik dari syar’i, maka akal
memegang peranan dalam merumuskan status hukum atas problematika tersebut.
Dalam upaya pemeliharaan Wahyu Ilahy sejak
zaman Nabi saw. ada diantara sahabat yang menyimpan catatan-catatan wahyu tersebut
dan hal itu masih dalam kondisi berserak-serakan. Kecemerlangan kekhalifahan
Utsman ra. yang mengkondifikasikan Al-Quran dalam satu ,mushhaf merupakan
warisan berharga dalam pemeliharaan wahyu secara tertulis, walaupun pada masa
Nabi saw. ada laramngan penulisan Al-Quran yang dikhawatirkan bercampur
penulisannya dengan kata-kata beliau.
Al-Quran Yang Mulia ,merupakan sumber
perundang-undangan yang penuh keteraturan menyertai perjalanan kaum Muslimin di
masa-masa awal. Setidaknya Allah menurunkan surat demi surat secara sistematis
dalam hukum-hukumnya agar alur perjuangan generasi emas yang bertalaqi dengan
Rasul saw. ini menjadi suri teladan bagi berulang kembali kejayaan sejarah yang
tertoreh di muka bumi ini.
B. PEMBAHASAN
1. WAHYU
الوحي merupakan bentuk mashdar yang esensinya
menunjukkan dua makna pokok yaitu الخفاء
( rahasia ) dan السرعة (
cepat ). Karena itu satu pendapat mengatakan mengenai makna wahyu sebagai
pemberitahuan yang bersifat rahasia dan berlaku sangat cepat secara khusus
diarahkan kepada yang menerimanya. Namun ketika dimaknai isim maf’ul secara
etimologi wahyu mencakup makna-makna sebagai berikut:
1) Ilham
yang bersifat fithrah ( naluri ) bagi manusia, seperti wahyu yang disampaikan
kepada Ibu Musa as. Firman-Nya:
وَأَوْحَيْنَا
إِلَى أُمِّ مُوسَى أَنْ أَرْضِعِيه فَإِذَا خِفْتِ عَلَيْهِ فَأَلْقِيهِ فِي الْيَمِّ وَلَا تَخَافِي
وَلَا تَحْزَنِي ِ
Terjemahannya: “Dan kami
ilhamkan kepada ibu Musa; "Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir
terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir
dan janganlah (pula) bersedih hati,” ( Q.S. Al-Qashash: 7 ).
2) Ilham
yang bersifat insting bagi hewan, seperti Allah berfirman kepada lebah:
أَوْحَى
رَبُّكَ إِلَى النَّحْلِ أَنِ اتَّخِذِي مِنَ الْجِبَالِ بُيُوتًا وَمِنَ
الشَّجَرِ وَمِمَّا يَعْرِشُونَ (68)
Terjemahannya:
“Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di
tempat-tempat
yang
dibikin manusia" ( Q.S. An-Nahl: 68 ).
3) Isyarat yang sangat cepat, seperti firman-Nya:
فَخَرَجَ
عَلَى قَوْمِهِ مِنَ الْمِحْرَابِ فَأَوْحَى إِلَيْهِمْ أَنْ سَبِّحُوا بُكْرَةً وَعَشِيًّا
(11)
Terjemahannya:
“Maka ia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu ia memberi isyarat kepada
mereka; hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang.” ( Q.S. Maryam:
11 ).
4) Bisikan
Setan dan cara menjadikan sesuatu kejelekan menjadi indah di dalam jiwa
manusia. Firman-Nya:
وَإِنَّ
الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَائِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ
Terjemahannya: “Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-
kawannya agar mereka
membantah kamu;” ( Q.S. Al-An’am: 121 ).
Dan firman-Nya:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الْإِنْسِ
وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا
Terjemahannya:
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari
jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian
mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan- perkataan
yang indah-indah untuk menipu (manusia).” ( Q.S. Al-An’am: 112
).
5)
Sesuatu
yang disampaikan kepada para malaikat-Nya berbentuk perintah agar dilaksanakan.
Firman-Nya:
إِذْ
يُوحِي رَبُّكَ إِلَى الْمَلَائِكَةِ أَنِّي مَعَكُمْ فَثَبِّتُوا الَّذِينَ
آمَنُوا
Terjemahannya: “Ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada
para malaikat: "Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkan (pendirian)
orang-orang yang telah beriman". ( Al-Anfal: 12 ).
Adapun wahyu secara
terminologis, jika dimaknai isim maf’ul, adalah kalamullah Ta’ala yang
diturunkan terhadap seorang nabi diantara nabi-nabi-Nya ( Al-Qaththan, 1973: 33
). Ghazalba ( 1981 : 20 ) mendefinisikan wahyu sebagai pengetahuan yang
bersumber dari luar manusia yaitu dari Sang Creator Agung Pencipta manusia dan
alam raya ini. Al-Kindi menyebut wahyu sebagai Pengetahuan Ilahy.
Dalam teliksik D.R. Shubhi
Shalih ( 1988 : 23 ) ada tiga cara wahyu dalam penyampaiannya kepada Nabi saw. Pertama,
dengan cara dihujamkan kepada qalbu nabi saw. atau diilhamkan. Kedua,
dengan cara pembicaraan dengan Nabi saw. dibelakang hijab sebagaimana Allah
memanggil Musa as. dibelakang sebuah pohon dan Musa as. pun mendengarkan
panggilan tersebut. Ketiga, disampaikan melalui perantara malaikat berwujud
seorang lelaki ataupun rupa aslinya. Ketiga cara ini dijelaskan di dalam Surah
Asy-Syura: 51, firman-Nya:
وَمَا
كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلَّا وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ
حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولًا فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ عَلِيٌّ
حَكِيمٌ
Terjemahannya:
“Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan
perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan
(malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki.
Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.”
Wahyu merupakan misteri
Kalam Tuhan yang tidak luput menjadi perbincangan kalangan Intelektual
Muslim. Fazlur Rahman ( 1979 : 30 )
umpamanya, memahami wahyu berdekatan artinya dengan inspirasi, hal ini sejalan
dengan Q.S. Asy-Syura: 51. Harun Nasution ( 1979 : 33 ) sependapat dengan D.R.
Subhi Shalih di dalam cara penyampaian wahyu kepada Nabi saw.
Umat Islam telah
konsensus menerima wahyu sebagai sesuatu yang datang dari Tuhan berupa al-haq (
kebenaran ). Namun Umat Islam tidak melulu sepaham ketika disebutkan bahwa
Al-Quran ( wahyu ) adalah satu-satunya informasi kebenaran. Manusia denga
anugerah akalnya, dalam persfektif Mu’tazilah dan sebagaian para filosif, akan
dapat menemukan kebenaran. Pendapat ini dibenarkan karena akal, melalui ilmu
pengetahun, memiliki kemampuan memverifikasi objek-objek kebenaran secara
sistematis dan logis, sementara Al-Quran berbicara dalam bahasa metaforic yang
membutuhkan takwil yang dimediasi akal.
Pendapat tersebut tidak
sepi dari bantahan sebagian ulama karena tidak semua hal dapat diketahui dengan
akal manusia. Wahyu tetap dibutuhkan untuk mendapatkan informasi-informasi yang
jernih di dalam urusan keghaiban yang wajib diimani dalam Islam.
2.
Al-Quran
Al-Quran secara etimologi bentuk mashdar
قرأ bermakna تلا ( membaca ) atau جمع (menghimpun ). Lafazh تلا bentuk mashdarnya bermakna isim maf’ul (
yang dibaca ). Sedangkan lafazh جمع bentuk mashdarnya bermakna isim fa’il ( yang menghimpun ),
maksudnya yang menghimpun berbagai informasi dan hukum-hukum ( ‘Utsaimin, 2007
: 17 ).
Secara terminologi beragam definisi
Al-Quran dirumuskan oleh para ilmuwan diantaranya Imam Al-Shabuni ( 2016 : 10 –
11 ) mendefinisikan Al-Quran adalah kalamullah yang mengagumkan diturunkan atas
penutup para nabi dan para utusan dengan melalui Al-Amin Jibril as. yang
ditulis di dalam mushhaf yang manqul
periwayatannya sampai kepada kita secara mutawatir, dianggap ibadah membacanya
yang dimulai dengan Surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan Surat An-Nas.
Sejalan dengan definisi ini komentator
Kitab Syarh Ushul Al-Tafsir berpandangan, barangsiapa yang mengingkari dari
Al-Quran satu huruf saja, maka ia menjadi kafir karena mendustakan Allah dan
utusan-Nya dan konsensus muslimin ( al-ijma’ ).
Mana’u Al-Qaththan ( 1973 : 21 )
mengungkapkan analisis ulama atas definisi Al-Quran bahwa yang dimaksud
Kalamullah mencakup semua firman-Nya dan disandarkan kepada Allah
mengisyaratkan dikeluarkan perkataanselainnya seperti perkataan manusia, jin
dan malaikat. Definisi demikian telah disepakati diantara ulama dan ahli ushul.
Allah telah menurunkan Al-Quran agar
menjadi sumber perundang-undangan bagi Umat Islam dan agar menjadi tanda
pembenaran kerasulan Muhamad saw., sebagai bukti nyata kenabiannya dan
risalahnya, juga sebagai argumentasi yang tak terbantahkan sampai hari kiamat, menjadi saksi bahwa ia
diturunkan dari Tuhan Maha Bijaksana MahaTerpuji; bahkan sebagai mukjizat yang
abadi yang menantang dalam berbagai waktu dan tempat.
Dalam pemahaman Ibnu Hazm ( I, 2003 : 52
) Al-Quran adalah Kalamullah dan Ilmu-Nya, bukan makhluq. Yang ditulis di dalam
beragam mushhaf dan didengarkan dari seorang qari serta di jaga di dalam
hati diturunkan Jibril as. atas hati
Muhamad saw. Semua yang terdapat di dalam
Kitabullah Ta’ala itu Kalamullah yang hakikat, bukan majaz ( metaforic
). Barangsiapa yang mengatakan mengenai sesuatu yang terdapat di dalam Al-Quran
bahwa ia bukan Al-Quran, bukan pula Kalamullah berarti ia telah kafir karena
menyalahi Allah, Rasul-Nya dan ijma’ penganut Islam Firman-Nya:
فَأَجِرْهُ
حَتَّى يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ
Terjemahannya:
“maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah,” ( Q.S. At-Taubah: 6 ).
وَقَدْ
كَانَ فَرِيقٌ مِنْهُمْ يَسْمَعُونَ كَلَامَ اللَّهِ ثُمَّ يُحَرِّفُونَهُ مِنْ
بَعْدِ مَا عَقَلُوهُ وَهُمْ يَعْلَمُونَ (75)
Terjemahannya:
“padahal segolongan dari mereka mendengar
firman Allah, lalu mereka
mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka engetahui?”
( Q.S. Al-Baqarah : 75 ).
بَلْ
هُوَ قُرْآنٌ مَجِيدٌ (21) فِي لَوْحٍ مَحْفُوظٍ (22)
Terjemahannya:
“Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al Quran yang mulia, ( 21 ) yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfuzh.(
22 ) ( Q.S. Al-Buruj ).
بَلْ
هُوَ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ فِي صُدُورِ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ
Terjemahannya:
“Sebenarnya, Al Quran itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu,” (
Q.S. Al-‘Ankabut: 49 ).
نَزَلَ
بِهِ الرُّوحُ الْأَمِينُ (193) عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنْذِرِينَ
(194)
Terjemahannya:
“dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ( 193 ) ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah
seorang di antara orang-orang yang
memberi peringatan,” ( 194 ). ( Q.S.. Asy-Syu’ara ).
2.1. Keutamaan Al-Quran
Telah datang keterangan yang banyak mengenai keutamaan
Al-Quran dan ilmu-ilmu-Nya. Diantaranya yang berhubungan dengan mempelajari dan
mengajarkannya, yang berhubungan dengan membacanya, menghafalnya dan
menerjemahkannya yang bersumber dari Ayat Al-Quran ataupun Hadits Nabawi,
diantaranya:
1)
Q.S.
Fathir ayat ke-29:
إِنَّ
الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنْفَقُوا مِمَّا
رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً لَنْ تَبُورَ
Terjemahannya: “Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca
kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezki yang
Kami anuge- rahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka
itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi”.
2) Q.S. Al-A’raf Ayat ke-204:
وَإِذَا
قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ (204)
Terjemahannya: “Dan apabila dibacakan Al Quran, maka dengarkanlah
baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.”
3)
Q.S.
Muhamad Ayat ke-24:
أَفَلَا
يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا (24)
Terjemahannya: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran
ataukah hati mereka terkunci?”
Adapun
hadits-hadits yang menjelaskan keutamaan Al-Quran diantaranya:
1)
H.R.
Al-Bukhari No. 158 Kitab Al-Fadha’il Al-Quran.
"خيركم من تعلم القرآن وعلمه".
Terjemahannya:
“Sebaik-baiknya diantara kalian adalah orang yang mempelajari Al-Quran dan
mengajarkannya.”
2) H.R.
Muslim No. 798
" المَاهِرُ بالقُرْآنِ مَعَ الكِرَامِ
البرَرَةِ "
Terjemahannya: “Orang yang mahir
Al-Quran bersama para malaiat yang baik terhadapnya.”
3) H.R.
Al-Bukhari No. 5427
مَثَلُ
المُؤْمِنِ الَّذِي يَقْرَأُ القُرْآنَ كَمَثَلِ الأُتْرُجَّةِ، رِيحُهَا طَيِّبٌ
وَطَعْمُهَا طَيِّبٌ،
Terjemahannya: “Perumpamaan seorang
mukmin yang membaca Al-Quran seperti perumpamaan buah, harumnya semerbak
danrasanya baik.”
Syaikh
Al-Islam Ibn Taimiyah berkata: “Barangsiapa yang tidak membaca Al-Quran maka
sungguh ia telah meninggalkannya. Dan baranhgsiapa yang membaca Al-Quran tetapi
tidak merenungkan isi kandungannya, maka sungguh ia telah meninggalkannya.
Barangsiapa yang membacanya dan merenungkan isi kandungannya tetapi tidak
mengamalkannya, maka sungguh ia telah meninggalkannya.” Mengisyaratkan yang
demikian kepada firman-Nya:
وَقَالَ الرَّسُولُ يَا رَبِّ إِنَّ قَوْمِي اتَّخَذُوا هَذَا
الْقُرْآنَ مَهْجُورًا (30)
Terjemahannya: “Berkatalah
Rasul: "Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan
Al Quran itu sesuatu yang tidak diacuhkan".( Q.S. Al-Furqan: 30 ).
2.2. Nama-Nama
Al-Quran
Al-Quran memiliki nama-nama yang kesemua
namanya menunjukkan ketinggian derajatnya dan kemuliaan Kitab Samawy secara
mutlak. Maksud berbagai penamaan bagi Al-Quran ternyata merujuk kepada sumber
dari penyebutannya, yaitu:
1)
Dinamai
Al-Quran disebutkan di dalam beberapa ayat, diantaranya:
ق
وَالْقُرْآنِ الْمَجِيدِ (1)
Terjemahannya: “Qaaf.
Demi Al Quran yang sangat mulia.” ( Q.S. Qaf: 1 ).
2) Dinamai
Al-Furqan, firman-Nya:
تَبَارَكَ
الَّذِي نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلَى عَبْدِهِ لِيَكُونَ لِلْعَالَمِينَ نَذِيرًا
(1)
Terjemahannya: “Maha suci Allah yang telah menurunkan Al
Furqaan (Al Quran) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada
seluruh alam.” ( Q.S. Al-Furqan: 1 ).
3) Dinamai
Al-Tanzil, firman-Nya:
وَإِنَّهُ
لَتَنْزِيلُ رَبِّ الْعَالَمِينَ (192)
Terjemahannya:
“Dan sesungguhnya Al Quran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta
alam,” ( Asy-Syu’ara: 192 ).
4) Dinamai
Adz-Dzikr, firman-Nya:
إِنَّا
نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ (9)
Terjemahannya: “Sesungguhnya Kami-lah
yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (
Q.S. Al-Hijr: 9 ).
5) Dinamai
Al-Kitab, firman-Nya:
حم
(1) وَالْكِتَابِ الْمُبِينِ (2)
Terjemahannya: “Hamim ( 1
) Demi Kitab (Al Quran) yang menjelaskan,( 2 ) ( Q.S. Ad-Dukhan ).
3.
TURUNNYA
AL-QURAN
Pembahasan turun Al-Quran begitu penting bahkan paling penting
diantara pembahasan semuanya, karena ilmu berkenaan turun Al-Quran landasan
bagi keimanan terhadap Al-Quran. Sesungguhnya Al-Quran Kalamullah dan asas bagi
membenarkan kenabian Rasullullah saw. dan asas Islam itu benar ( Al-Zarqani, I,
t.t. : 40 ). Disematkan lafazh al-nuzul ( turun ) secara etimologi menurunkan sesuatu dari atas ke bawah.
Mengandung makna menggerakkan sesuatu dari atas ke bawah, Al-Quran memberikan
contoh dengan redaksi:
وَاللَّهُ أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ
بَعْدَ مَوْتِهَا إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَةً لِقَوْمٍ يَسْمَعُونَ (65)
Terjemahannya: “Dan
Allah menurunkan dari langit air (hujan) dan dengan air itu dihidupkan-Nya bumi sesudah matinya.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang mendengarkan (pelajaran).” ( Q.S.
An-Nahl: 65 )
Tidak diragukan pemaknaan demikian tidak patut dialamatkan
maksudnya bagi Allah yang menurunkan Al-Quran dan tidak pantas juga dalam hal
turunnya Al-Quran dari Allah, karena makna tersebut mengandung konsekuensi dari
tempat mana diturunkannya dan objek yang ditrunkan tentunya berjisim. Sedangkan
Al-Quran bukanlah jisim sehingga menempati pada suat tempat atau turun dari
tempat yang tinggi ke tempat yang bawah.
Berbeda dengan cara
turun kitab-kitab samawy yang sebelumnya, seperti Taurat dan Injil diturunkan
secara sekaligus, Al-Quran diturunkan kepada Nabi Muhamad saw. secara bertahap.
Penggunaan kata نَزِّلْنَا ( nazzalnaa )
mengisyaratkan bahwa Allah menurunkan Al-Quran secara berulang kali atau
bertahap. Al-Quran yang disimpan di Lauh Mahfuzh diturunkan ke langit dunia (
langit yang terdekat ) kemudian diturunkan secara berangsur selama 23 tahun sejak
Muhamad saw. diutus menjadi rasul sampai beliau wafat. Beberapa ayat berikut
menjelaskan:
وَقُرْآنًا
فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلًا
(106)
Terjemahannya: “Dan
Al Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya
perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya
bagian demi bagian.” ( Q.S. Al-Isra’: 106 )
وَقَالَ
الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلَا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً
كَذَلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلًا (32)
Terjemahannya:
“Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa Al Quran itu tidak diturunkan
kepadanya sekali turun saja?"; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami
membacanya secara tartil (teratur dan benar).”
( Q.S. Al- Furqan: 32 ).
وَنُنَزِّلُ
مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ وَلَا يَزِيدُ
الظَّالِمِينَ إِلَّا خَسَارًا (82)
Terjemahannya: “Dan Kami turunkan dari
Al Quran suatu yang menjadi penawar dan
rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain
kerugian.” ( Q.S. Al-Isra’: 82 ).
تَنْزِيلُ الْكِتَابِ مِنَ اللَّهِ الْعَزِيزِ الْحَكِيمِ (1)
Terjemahannya: “Kitab
(Al Quran ini) diturunkan oleh Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” ( Az-Zumar: 1 ).
·
Permulaan
Ayat yang diturunkan
Permulaan ayat yang
diturunkan atas Rasulullah saw. terjadi pada Malam Al-Qadr di Bulan Ramadhan,
sebagaimana diungkapkan oleh ayat-ayat berikut:
إِنَّا
أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ (1)
Terjemahannya: “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran)
pada malam kemuliaan.” ( Q.S. Al-Qadr: 1 ).
إِنَّا
أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ (3) فِيهَا
يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ (4)
Terjemahannya: “sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu
malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. ( 3 )
Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” ( 4 ). ( Q.S. Ad-Dukhan
).
شَهْرُ
رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ
الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
Terjemahannya: “bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya
diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan
mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil).” (
Q.S. Al-Baqarah: 185 ).
Muhamad Husain Ya’qub ( 2005 : 17 ) di dalam Kitab Asrar
Al-Muhibin memberikan penjelasan bahwa semua kitab samawy diturunkan pada
Bulan Ramadhan.
Ada beberapa versi
mengenai ayat yang pertama-tama diturunkan dan ayat yang terakhir diturunkan.
Berkenaan ayat apakah yang pertama diturunkan terdapat tiga pendapat. Pendapat
pertama yang dipandang shahih menyatakan bahwa Q.S. Al-‘Alaq Ayat 1 – 5 merupakan permulaan ayat yang
diturunkan kepada Nabi saw.. Pendapat ini dikuatkan dengan hadits yang diterima
melalui Aisyah dalam periwayatan Imam Al-Bukhari ( I, t.t. : ) bahwa kali pertama Rasulullah saw
memulai menerima wahyu berupa ar-ru’ya al-shadiqah ( mimpi yang benar )
di dalam tidur beliau. Tidaklah beliau bermimpi, kecuali datangnya seumpama
sepenggal waktu subuh. Kemudian semenjak itu beliau menyukai menyendiri untuk
bertahanuts di Gua Hira berhari-hari
yang sesekali kembali menemui istrinya Khadijah ra.untuk menyiapkan perbekalan
sampai tibalah pada suatu hari Malikat Jibril datang menyampaikan wahyu. Pendapat
kedua, berdasarkan riwayat Al-Bukhari dan Muslim yang diterima melalui Abu
Salamah bin Abdirrahman yang mengkonfirmasi Jabir bin Abdillah mengenai yang
pertama-tama diturunkan kepada Nabi saw. menerima jawaban Surat
Al-Mudatsir. Dikuatkan pula pendapat ini dengan hadits Al-Bukhari dan Muslim
melalui jalur periwayatan Abu Sa;lamah dan jabir, bahwa ia pernah mendengar
Nabi saw. menceritakan mengenai terputus turunnya wahyu ( fatrah al-wahyu
) beliau bersabda:
“ketika aku tengah
berada di waktu sore mendengar suara dari langit, lalu aku menengadahkan kepala, tiba-tiba ada
malaikat datang kepadaku di Gua Hira yang duduk
pada sebuah kursi diantara langit dan bumi. Kemudian akupun pulang dan berkata, “Selimutilah
daku! Selimutilah daku!” Kemudian Allah menurunkan, “Ya ayyuhal mudatsir....”
( Al-Qaththan, 1973 : 66 – 67 ).
Hadits diatas menunjukkan
kisah ini diakhirkan dari kisah menerima wahyu ketika di Gua Hira--
adanya kisah Surat Al-Mudatsir awal surat yang diturunkan setelah masa terputus
wahyu—Jabir telah meriwayatkan dengan kesungguhannya bahwa kisah tersebut
didahulukan atas periwayatan yang diterima melalui Aisyah. Perbedaan versi ini
mendorong sebuah analisi menarik, bahwa permulaan ayat yang diturunkan secara
mutlak adalah Q.S. Al-‘Alaq Ayat 1-5 berkenaan isyarat kenabian.Sedangkan awal
Surat yang diturunkan berkenaan risalah yaitu Surat Al-Mudatsir. Pendapat
ketiga, awal surat yang diturunkan adalah Surat Al-Fatihah. Pendapat
yang keempat, ayat yang pertama diturunkan adalah basmalah yang ada pada
awal setiap surat.
Turunnya Al-Quran terdiri atas dua bagian: ibtida’iy dan sababy.
Turunnya Al-Quran secara ibtida’iy adalah ayat-ayat yang diturunkan tanpa
melalui sebab yang menetapkannya. Secara mayoritas ayat-ayat Al-Quran
diturunkan tanpa melalui sebab. Umpamanya Surat Al-‘Alaq: 1-5, Surat
Al-Mudatsir dan Surat Al-Baqarah: 1-2. Adapaun ayat Al-Quran yang diturunkan
secara sababy didahului dengan suatu sebab turun yang menetapkannya.
·
Akhir
Ayat yang diturunkan
Mana’u Al-Qaththan ( 1973 : 63 ) menukil
beberapa pendapat akhir ayat yang diturunkan dari Al-Quran sebagai berikut:
1)
Berdasarkan
hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari diterima melalui Ibnu Abas, ia
berkata: “Akhir ayat yang diturunkan adalah ayat riba’, yaitu Surat An-Nisa
Ayat 176:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا
إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (278)
Terjemahannya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu
orang-orang yang beriman.”
2)
Menurut
riwayat Ibnu Abas dan Said bin Jubair akhir yang diturunkan dari Al-Quran yaitu
ayat 281 Surat Al-Baqarah:
وَاتَّقُوا يَوْمًا تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللَّهِ ثُمَّ تُوَفَّى
كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ (281
)
Terjemahannya:
“Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada)
Hari yang
pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri
diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang
telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya
(dirugikan).”
3)
Menurut
periwayatan yang diterima melalui Said bin Musayyab, telah sampai kepadanya
yang paling baru dari Al-Quran ketentuan ‘Arsy ayat berkenaan hutang-piutang,
yaitu Q.S. Al-Baqarah 282:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى
فَاكْتُبُوهُ
Terjemahannya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya.”
4)
Menurut
satu riwayat ahir yang diturunkan dari Al-Quran adalah ayat berkenaan kalalah,
firman-Nya:
يَسْتَفْتُونَكَ
قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلَالَةِ
Terjemahannya: “Mereka
meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah) Katakanlah: "Allah memberi fatwa
kepadamu tentang kalalah.” ( Q.S. An-
Nisa: 176 ).
5)
Pendapat
yang lain menyebutkan bahwa akhir ayat yang diturunkan Srat At-Taubah Ayat:
128-129, firman-Nya:
لَقَدْ
جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ.... وَهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ (129)
Terjemahannya: “Sungguh telah
datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, ..... dan Dia adalah Tuhan yang memiliki 'Arsy yang agung".
6) Berdasarkan periwayatan Imam At-Tirmidzi dan Al-Hakim
diterima melalui Aisyah akhir yang diturunkan adalah Surat Al-Maidah mengenai
halal dan haram yang tidak dihapus hukum-hukumnya.
7) Periwayatan Ibn Mardawaih menyebutkan
akhir ayat yang diturunkan Surat Alu Imran: 195 dinisbatkan kepada kaum
perempuan.
فَاسْتَجَابَ
لَهُمْ رَبُّهُمْ أَنِّي لَا أُضِيعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِنْكُمْ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ
أُنْثَى بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍ
Terjemahannya: “Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya
(dengan berfirman): "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal
orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan,
(karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain.”
8)
Menurut
periwayatan Al-Bukhari akhir ayat yang diturunkan mengenai hukum membunuh
seorang mukmin secara sengaja yaitu Surat An-Nisa Ayat 93, Firman-Nya:
وَمَنْ
يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ
اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا
Terjemahannya: “Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin
dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah
murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.”
9)
Menurut
riwayat dari Ibnu Abas akhir surat yang diturunkan An-Nashr.
Dalam analisa Mana’u Al-Qaththan dari kesemua pendapat diatas
tidak ada yang disandarkan kepada Nabi saw. . Semua semata hasil ijtihadi para
sahabat yang kuat berdasarkan dugaan mereka. Dan mengandung kemungkinan bahwa
masing-masing diantara mereka menginformasikan dari yang lain yang mendengarnya
dari Rasulullah saw.. Atau berkata demikian karena mengambil pelajaran dari
yang lain terhadap yang diturunkan dalam pensyariatan secara khusus atau akhir
surat yang turun secara sempurna atas arahan orang yang menelaah setiap
pendapat darinya.
Adapun Q.S. Al-Maidah Ayat ke-3 diturunkan di ‘Arafah ketika haji
wada’ menunjukkan penjelasan kesempurnaan berbagai kefarhuan dan hukum-hukum.
Para ulama juga memberikan penjelasan secara khusus mula-mula
topik yang diturunkan dari Al-Quran, sebagai berikut:
1)
Permulaan
yang diturunkan mengenai makanan: mula-mula ayat yang diturunkan di mekah
mengenai binatang ternak Q.S. Al-An’am: 145. Kemjudian disusul dengan Q.S.
An-Nahl:114-115, kemudian disusul dengan Q.S. Al-Baqarah: 173, kemudian disusul
dengan Q.S. Al-Maidah: 3.
2)
Permulaan
yang diturunkan mengenai minuman. Permulaan ayat yang diturunkan mengenai
minuman keras yaitu Q.S. Al-Baqarah: 219, kemudian Q.S. An-Nisa: 43, kemudian
Q.S. Al-maidah: 90-91.
3)
Permulaan
yang diturunkan mengenai perang menurut Ibnu Abas yaitu Q.S. Al-hajj: 39.
Mengetahui awal yang diturunkan dari
Al-Quran dan akhir yang diturunkan untuk meraih faidah penting yaitu:
1)
Menjelaskan
perhatian yang begitu besar yang diberikan Al-Quran dalam kerangka pemeliharaan
dan penguatan bagi ayat-ayatnya.
Para sahabat meresapi ayat dari Kitab yang Mulia ini seayat demi
seayat sehingga mereka mengetahui kapan dan dimana turunnya ketika bertemu-muka
dengan nabi saw. untuk urusan pokok-pokok agama mereka, membangkitkan
keimanannya, menjadikan sumber perundang-undangan.
2)
Mendapatkan
rahasia tasyri’ di dalam sejarah pengundangannya yang pokok.
3)
Untuk
membedakan nasikh dan mansukh.
DAFTAR PUSTAKA
Badrudin Abu Abdillah
Al-Zarkasy, Al-Burhan Fi ‘Ulum Al-Quran, Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah
Beirut ( 1971 )
Harun Nasution, Akal Dan Wahyu Dalam Islam, UI Press
jakarta ( 1979 ).
Ibnu Hazm Al-Zhahiri, Al-Muhalla Bi Al-Atsar, dar
Al-Fikr Beirut ( 2005 )
Muhamad bin Ismail Al-Bukhari, Al-Jami’u Al-Shahih, dar
Al-Fikr Bbeirut ( t.t. )
Muhamad Ali Al-Shabuni, Al-Tibyan Fi ‘Ulum Al-Quran, Dar
Al-Mawahib Al-Islamiyah ( t.t. ).
Muhamad bin Shalih
Al-‘Utsaimin, Syarh Ushul Al-Tafsir, Dar Al-Ghad, Mesir ( 2007 ).
Mana’u Al-Qaththan, Mabahits
Fi ‘Ulum Al-Quran, Mansyurat Al-‘Ashr Al-Hadits ( 1973 )
Muhamad Husain Ya’qub, Asrar
Al-Muhibbin, Maktabah Syuq Al-Akhirat ( 2005 )
Muhamad Al-Zarqani, Manahil
Al-‘Irfan Fi ‘Ulum Al-Quran, Matba’at ‘Isya Al-Babi Al-Halabi Wa Syirkat
(t.t. ).
Sayyid ‘Uluwy Ibn
Al-Sayyid Abas Al-maliky Al-Hasany, Faid Al-Khabir Wa Khulashat Al-Taqrir, Dar
Kutub Al-Islamiyah jakarta ( 2015 ).
Sidi Ghazalba, Ilmu
Filsafat Dan Agama, Bulan-Bintang
Jakarta ( 1981 ).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar