BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Empat belas
abad yang lalu, Allah menurunkan Alquran kepada umat manusia sebagai kitab
penuntun. Dia mengajak kepada manusia untuk mengikuti kebenaran dengan
berpegang kepada kitab ini. Dari saat diturunkannya sampai hari kiamat, kitab
Ilahi terakhir ini akan tetap merupakan satu-satunya petunjuk bagi umat
manusia.[1]
Gaya Alquran yang tidak tertandingi dan kebijaksanaannya yang luar biasa
merupakan bukti yang pasti bahwa ini merupakan firman Allah. Di samping itu,
Alquran mempunyai banyak ciri-ciri mukjizat yang membuktikan bahwa ini
merupakan wahyu dari Allah.[2] Di
antaranya adalah menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad Saw. Bukti
kebenaran tersebut dikemukakan dalam tantangan yang sifatnya bertahap. Pertama,
menantang siapa pun yang meragukannya untuk menyusun semacam Alquran secara
keseluruhan (baca QS 52: 34). Kedua, menantang mereka untuk menyusun
sepuluh surah semacam Alquran (baca QS 11: 13). Seluruh Alquran berisikan 114
surah. Ketiga, menantang mereka untuk menyusun satu surah saja semacam
Alquran (baca QS 10: 38). Keempat, menantang mereka untuk menyusun
sesuatu seperti atau lebih kurang sama dengan satu surah dari Alquran (baca QS
2: 23).[3]
Mempelajari
Alquran adalah kewajiban. Persoalan ini sangat penting, terutama pada masa-masa
sekarang ini, di mana perkembangan ilmu pengetahuan demikian pesat dan meliputi
seluruh aspek kehidupan.[4]
Sebagai kitab suci pedoman umat manusia, tentunya Alquran tidak hanya sebatas
untuk dibaca, didengar, dan dihafal saja, melainkan harus dipahami makna-makna
kandungan dari setiap ayat Alquran.
Alquran adalah sumber segala kebahagiaan sejati. Hanya saja ada sebuah
persoalan rumit yang selalu menjadi sebab kita tak pernah mendapatkan itu
semua; keengganan kita untuk mengkaji untaian isinya yang diturunkan Allah
untuk kita semua. Kita tak pernah berhasil benar dalam meraih puncak ilmu,
petunjuk dan kebahagiaan, karena kita lebih sering terasing dari Kitab mulia
ini. Kita tidak pernah benar-benar seperti yang dikatakan oleh seorang sahabat
Nabi, “Bacalah Alquran seolah ia baru diturunkan saat ini untukmu.” Maka tidak
mengherankan jika kita pun seperti yang dikatakan Utsman r.a, “Jika saja hati
kalian itu suci, maka ia tak akan pernah kenyang dan puas dengan Kalamullah.”
Meski demikian, tentu kita tidak boleh putus asa. Upaya mengakrabi
Alquran adalah upaya sepanjang hayat. Hari ini, esok, bulan depan, tahun depan,
hingga seterusnya adalah hari-hari yang harus kita lewati untuk mereguk ilmu,
petunjuk dan kebahagiaan Alquran itu.[5]
Dalam memahami Alquran diperlukan beberapa pendekatan keilmuan, salah satunya
adalah Ulumul
Quran yang memiliki sub-sub bidang
kajian guna memahami Alquran.Untuk
mempelajari Alquran secara menyeluruh, kaum muslimin harus mengetahui ruang
lingkup pembahasan Ulumul Quran
serta metode yang digunakan para ulama dalam memperoleh ilmu-ilmu tersebut
dapat ditelaah berdasarkan ilmu pengetahuan yang bertumpu pada tiga cabang
filsafat yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi.
Berangkat dari hal tersebut, maka penulis dalam makalah ini mencoba membahas tentang Ulumul Quran dalam kajian
Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Ulumul Quran dalam kajian ontologi?
2.
Bagaimana Ulumul Quran dalam kajian epistemologi?
3.
Bagaimana Ulumul Quran dalam kajian aksiologi?
C. Tujuan Penelitian
1.
Untuk mengetahui bagaimana Ulumul Quran dalam kajian ontologi.
2.
Untuk mengetahui bagaimana Ulumul Quran dalam kajian epistemologi.
3.
Untuk mengetahui bagaimana Ulumul Quran dalam kajian aksiologi.
D.
Manfaat Penelitian
1.
Menjadi
referensi dalam karya tulis akademik.
2.
Untuk menambah wawasan bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca
umumnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Ontologi, Epistemologi, dan
Aksiologi dalam Ilmu Pengetahuan
Dari semua pengetahuan, maka ilmu merupakan pengetahuan yang aspek
ontologis, epistemologis, dan aksiologisnya telah jauh lebih berkembang
dibandingkan dengan pengetahuan-pengetahuan lain dan dilaksanakan secara
konsekuen dan penuh disiplin. Dari pengertian inilah sebenarnya berkembang
pengertian ilmu sebagai disiplin yakni pengetahuan yang mengembangkan dan
melaksanakan aturan-aturan mainnya dengan penuh tanggung jawab dan
kesungguhannya. Jadi untuk membedakan jenis pengetahuan yang satu dari
pengetahuan-pengetahuan lainnya maka pertanyaan yang dapat diajukan adalah: Apa
yang dikaji oleh pengetahuan itu (ontologi)? Bagaimana caranya mendapatkan
pengetahuan tersebut (epistemologi)? Serta untuk apa pengetahuan tersebut
dipergunakan (aksiologi)?[6]
Ontologi membahas tentang yang ada secara universal, yaitu berusaha mencari
inti yang dimuat setiap kenyataan yang meliputi segala realitas dalam segala
bentuknya. Landasan dalam tataran ontologi adalah apa objek yang ditelaah,
bagaimana wujud yang hakiki dari objek tersebut, bagaimana pula hubungan objek
tersebut dengan daya pikir dan penangkapan manusia (Inu Safiie, 2004, 9).
Epistemologi adalah bagian filsafat yang membicarakan tentang terjadinya
pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, batas-batas,
sifat-sifat, metoda dan keahlian pengetahuan (Sudarsono, 2001, 138).
Objek telaah aksiologi adalah penerapan pengetahuan, dibahas mulai dari
klasifikasinya, tujuan pengetahuan, serta pengembanganya. Landasan dalam
tataran aksiologi adalah untuk apa pengetahuan itu digunakan? Bagaimana
hubungan penggunaan pengetahuan ilmiah dengan moral etika? Bagaimana penentuan
objek yang diteliti secara moral? Bagaimana kaitan prosedur ilmiah dan metode
ilmiah dengan kaidah moral?
B. Ulumul Quran dalam
Kajian Ontologi
Dalam sudut
pandang ontologi, yaitu apa yang dipelajari oleh Ulumul Quran.Dengan menganalisa pengertian Ulumul Quran baik secara etimologi maupun terminologi maka tergambarlah objek
yang akan menjadi kajiannya.
Ulumul Quran merupakan
ungkapan yang berasal dari bahasa Arab, terdiri dari dua kata, yaitu علوم (‘ulum) dan القران
(Alquran). Kata ‘ulum adalah jamak dari ‘ilm yang berarti
ilmu-ilmu. ‘Ulum adalah bentuk plural dari ‘ilm. ‘Ilm
sendiri maknanya al-fahmu wa al-idrak (pemahaman dan pengetahuan).
Kemudian, pengertiannya dikembangkan kepada kajian berbagai masalah yang
beragam dengan standar ilmiah. Dikatakan bahwa Al-Ilmu adalah, “pengetahuan
yang telah pasti, sesuai dengan kenyataan”, atau pengetahuan tentang hakikat
sesuatu. Ada pula yang mengatakan bahwa ilmu adalah suatu sifat yang mendalam
untuk mengetahui pokok-pokok dan bagian-bagian suatu obyek. [7]
Sedangkan Alquran adalah Kalam Allah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw sebagai pedoman hidup manusia, bagi yang
membacanya merupakan suatu ibadah dan mendapat pahala. Alquran secara
etimologis diambil dari kata قرأ يقرأ
قرانا yang berarti bacaan. Menurut pengertian
terminologi terdapat pula perbedaan pendapat di antara para ulama tentang
definisi Alquran, baik dari ulama bahasa, kalam, maupun ushul fiqh dan
sebagainya. Perbedaan itu karena penekanannya berbeda-beda disebabkan oleh
perbedaan keahlian mereka. Tetapi meskipun demikian, Al-Zarqani dapat
merumuskan definisi Alquran yang menurut anggapannya bisa diterima oleh para
ulama kalam, ushul, bahasa, dan fuqoha, yaitu “Alquran adalah lafaz yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, dari permulaan surat Al-Fatihah sampai
akhir surat An-Nas.”
Alquran secara
terminologis terdapat beberapa pengertian sebagaimana di tuliskan
Ash-Shiddieqy sebagai
berikut:
1.
Ahli
Ushul Fiqh menyatakan
Alquran
adalah nama bagi keseluruhan Alquran dan nama untuk bagian-bagiannya.
2.
Ahli
ilmu kalam menyatakan Alquran adalah kalimat-kalimat ghaib yang azali sejak dari awal Al-Fatihah
sampai akhir An-Nas, yaitu
lafaz-lafaz yang terlepas dari sifat kebendaan,baik secara dirasakan,
dikhayalkan ataupun lain-lainnya yang tersusun pada sifat Allah
yang qadim.
3.
As-Syuyuthy
dalam kitab Al-Itman, Alquran adalah Kalamullah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw., yang tidak
dapat ditandingi oleh yang menantangnya walaupun sekedar satu ayat saja,
dan merupakan ibadah bagi yang membacanya.
4.
Asy-Syaukani
dalam Al-Irsyad, Alquran adalah Kalamullah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw., yang
ditilawahkannya dengan lisan lagi mutawatir penukilannya.[8]
Secara istilah para ulama telah merumuskan beberapa
definisi tentang Ulumul Quran ini. Di antaranya al-Zarqani merumuskan sebagai
berikut:
مباحث
تتعلق بالقران الكريم من ناحية نزوله وترتيبه وجمعه وكتابته وقراءته وتفسيره
واعجازه وناسخه ومنسوخه ودفع الشبه عنه ونحو ذلك.
“Pembahasan-pembahasan yang berhubungan dengan
Alquran dari segi turunnya, urut-urutannya, pengumpulannya, penulisannya,
bacannya, penafsirannya, kemukjizatannya, nasikh dan mansukhnya, dan penolakan
terhadap hal-hal yang menimbulkan keragu-raguan terhadap Alquran dan
sebagainya.”
Al-Suyuthi menurut kutipan Masjfuk Zuhdi merumuskan
definisi Ulumul Quran sebagai berikut:
علم
يبحث فيه عن أحوال الكتاب العزيز من جهة نزوله وسنده وادابه وألفاظه ومعانيه
المتعلقة بالأحكام وغير ذلك.
“Suatu ilmu yang di dalamnya membahas tentang keadaan Alquran
dari segi turunnya, sanadnya, adabnya, ma’na-ma’nanya, baik yang berhubungan
dengan lafaz-lafaznya, maupun yang berhubungan dengan hukum-hukumnya dan
sebagainya.”
Manna Al-Qaththan merumuskan sebagai berikut:
العلم
الذي يتناول الأبحاث المتعلقة بالقران من حيث معرفة أسباب النزول وجمع القران
وترتيبه ومعرفت المكي والمدني والناسخ والمنسوخ والمحكم والمتشابه الى غير ذلك مما
له صلة بالقران.
“Ilmu yang mencakup pembahasan-pembahasan yang
berhubungan dengan Alquran, dari segi pengetahuan tentang sebab-sebab turunnya,
pengumpulan Alquran dan urut-urutannya, pengetahuan tentang ayat-ayat Makiyah
dan Madaniyah, Nasikh Mansukh, Muhkam Mutasyabih, dan hal-hal lain yang ada
hubungannya dengan Alquran.”
Ali Al-Shabuni merumuskan sebagai berikut:
يقصد
بعلوم القران الأبحاث التى تتعلق بهذا الكتاب المجيد الخالد من حيث النزول والجمع
والترتيب والتدوين ومعرفة أسباب النزول والمكي منه والمدني ومعرفة الناسخ والمنسوخ
والمحكم والمتشابه وغير ذلك من الأبحاث الكثيرة التي تتعلق بالقران العظيم.
“Yang dimaksud dengan Ulumul Quran ialah
pembahasan-pembahasan yang berhubungan dengan kitab yang mulia ini dari segi
turunnya, pengumpulannya, penertibannya, pembukuannya, mengetahui sebab
turunnya, Makiyah dan Madaniyahnya, Nasikh Mansukhnya, Muhkam Mutasyabihnya dan
lain-lain pembahasan yang berkaitan dengan Alquran.”
Menurut Abu Syahbah:
“Sebuah ilmu yang memiliki banyak objek pembahasan
yang berhubungan dengan Alquran, mulai proses penurunan, urutan penulisan,
kodifikasi, cara membaca, penafsiran, kemukjizatan, Nasikh Mansukh, Muhkam
Mutasyabih, sampai pembahasan-pembahasan lain.”[9]
Dari segi definisi-definisi tersebut jelaslah bahwa
Ulumul Quran merupakan gabungan dari sejumlah pembahasan ilmu-ilmu yang pada
mulanya berdiri sendiri. Pembahasan ilmu-ilmu ini mempunyai hubungan yang erat
sekali dengan Alquran, baik dari segi keberadaannya sebagai Alquran maupun dari
segi pemahaman kandungannya sebagai pedoman dan petunjuk hidup bagi manusia. [10]
Dalam kajian Islam ungkapan Ulumul Quran ini telah
menjadi nama bagi suatu disiplin ilmu, dan secara bahasa artinya ilmu-ilmu
Alquran. Hal ini dapat dilihat umpamanya pada karya Fahd Abdurrahman Ar-Rumi Dirasat
Fi ‘Ulum Al-Qur’an yang telah diterjemahkan oleh Amirul Hasan dan Muhammad
Halabi dengan diberi judul ‘Ulum Al-Qur’an, Studi Kompleksitas Al-Qur’an,
sedang karya Manna Al-Qaththan Mabahits Fi ‘Ulum Al-Qur’an yang telah
diterjemahkan oleh Mudzakir AS diberi judul Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an.[11]
Dan yang dimaksud dengan Ulumul Quran, yaitu suatu
ilmu yang mencakup berbagai kajian yang berkaitan dengan kajian-kajian Alquran
seperti; pembahasan tentang Asbabun Nuzul, pengumpulan Alquran dan
penyusunannya, masalah Makkiyah dan Madaniyah, Nasikh dan Mansukh, Muhkam dan
Mutasyabihat, dan lain-lain.
Kadang-kadang Ulumul Quran ini juga disebut sebagai
ushul at-tafsir (dasar-dasar/prinsip-prinsip penafsiran), karena memuat
berbagai pembahasan dasar atau pokok yang wajib dikuasai dalam menafsirkan
Alquran.[12]
Secara garis
besar objek kajiannya disimpulkan oleh Hatta Syamsuddin, Lc., dalam Modul
Ulumul Quran sebagai
berikut:[13]
1.
Sejarah
dan perkembangan Ulumul Quran,
meliputi rintisan Ulumul Quran pada masa
Rasulullah Saw., sahabat,
tabi’in, tabiut-tabi’in,
dan perkembangan selanjutnya lengkap dengan nama-nama ulama dan
karangannya di bidang Ulumul Quran
di setiap zaman dan tempat.
2.
Pengetahuan
tentang Alquran, meliputi
makna Alquran,
karakteristik Alquran, nama-nama
Alquran, wahyu
turunnya Alquran, ayat Makkiyah
dan Madaniyah, Asbabun Nuzul, dan
sebagainya.
3.
Metodologi
penafsiran Alquran,
meliputi pengertian tafsir dan takwil, syarat-syarat mufassir dan
adab-adabnya, sejarah dan perkembangan ilmu tafsir, kaidah-kaidah dalam
penafsiran Alquran, muhkam
dan mutasyabih, ‘am dan khas, nasikh wa mansukh, dan sebagainya.
Dengan demikian
kajian Ulumul
Quran adalah segala ilmu yang erat kaitan dengan intisari ajaran Alquran baik dari
segi penulisan, cara membaca, menafsirkan, Asbabun Nuzul, Nasikh Mansukh,
kemukjizatan maupun ilmu-ilmu sebagai sanggahan terhadap serangan atau yang
melemahkan kemurnian Alquran baik
ditinjau dari aspek keberadaannya sebagai Alquran maupun aspek pemahaman kandungannya sebagai pedoman dan
petunjuk bagi manusia atau berkaitan dengan ilmu-ilmu yang berhubungan dengan
aspek keperluan membahas Alquran.
C. Ulumul Quran dalam
Kajian Epistemologi
Epistemologi adalah bagian filsafat yang membicarakan tentang terjadinya
pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, batas-batas,
sifat-sifat, metoda dan keahlian pengetahuan.
Sejarah
perkembangan Ulumul Quran dapat pula
ditinjau dari sudut metode UlumulQuran. Walaupun disadari bahwa setiap fase mempunyai metode yang
berbeda dalam penggalian Ulumul Quran.
a. Fase Sebelum Kodifikasi (Qabl
‘Ashr At-Tadwin)
Pada fase sebelum
kodifikasi, Ulumul Quran kurang lebih sudah merupakan benih yang kemunculannya
sangat dirasakan semenjak Nabi masih ada. Hal itu ditandai dengan kegairahan
para sahabat untuk mempelajari Alquran dengan sungguh-sungguh. Terlebih lagi di
antara mereka –sebagaimana diceritakan oleh Abu Abdurrahman As-Sulami, ada
kebiasaan untuk tidak berpindah kepada ayat lain, sebelum benar-benar dapat
memahami dan mengamalkan ayat yang sedang dipelajarinya. Mereka mempelajari
sekaligus mengamalkan ayat yang sedang dipelajarinya. Tampaknya, itulah
sebabnya mengapa Ibnu Umar memerlukan waktu delapan tahun hanya untuk menghapal
surat Al-Baqarah.[14]
Allah Swt., menurunkan
Alquran kepada Nabi Muhammad Saw., demi membebaskan manusia dari berbagai
kegelapan hidup menuju cahaya Ilahi, dan membimbing mereka ke jalan yang lurus.
Rasulullah menyampaikannya kepada para sahabatnya –sebagai penduduk asli Arab-
yang sudah tentu dapat memahami tabiat mereka. Jika terdapat sesuatu yang
kurang jelas bagi mereka tentang ayat-ayat yang mereka terima, mereka langsung
menanyakannya kepada Rasulullah Saw.
Para sahabat sangat
bersemangat untuk mendapatkan pengajaran Alquranul Karim dari Rasulullah.
Mereka ingin menghafal dan memahaminya. Bagi mereka ini merupakan suatu
kehormatan. Seiring dengan itu, mereka juga bersunguh-sungguh mengamalkannya
dan menegakkan hukum-hukumnya.
Rasulullah Saw., tidak
mengizinkan mereka menulis apapun selain Alquran, sebab ditakutkan dapat
tercampur aduk dengan yang lain. Sekalipun Rasulullah pernah mengizinkan
sebagian sahabatnya setelah itu untuk menulis hadits, sesungguhnya hal-hal yang
berkaitan dengan Alquran masih tetap bersandar pada riwayat, yaitu melalui
talqin. Demikianlah yang terjadi pada masa Rasul, masa khalifah Abu Bakar, dan
Umar RA.[15]
b. Fase Kodifikasi
Abad kedua Hijriyah adalah
masa kodifikasi. Mula-mula kodifikasi hadits dengan metode penggunaan bab-bab
yang kurang sistematik. Semuanya mencakup segala yang berkaitan dengan tafsir.
Sebagian ulama menyatukan tafsir yang diriwayatkan tanpa melihat apakah itu
berasal dari Nabi, sahabat, atau tabi’in.
Tokoh-tokoh yang melakukan
kodifikasi itu di antaranya Yazid bin Harun As-Sulami (w. 117 H), Syu’bah bin
Al-Hajjaj (w. 160 H), Waki’ bin Al-Jarrah (w. 197 H), Sufyan bin Uyainah (w.
198 H), dan Abdul Razaq bin Hammam (w. 211 H). Kesemua ulama itu pada dasarnya
termasuk ulama hadits. Hingga sekarang kita belum menemui penjelasan-penjelasan
tafsir mereka dalam berbagai kitab.
Pada masa selanjutnya,
sekelompok ulama melakukan penafsiran secara komprehensif terhadap Alquran
sesuai tertibnya ayat yang ada dalam mushaf. Di antara mereka yang terkenal
adalah Ibnu Jarir Ath-Thabari (w. 310 H).
Demikianlah, pertama kali
tafsir dilakukan dengan metode dari mulut ke mulut dan periwayatan, lalu
melalui proses kodifikasi, tapi masih masuk dalam bab-bab hadits. Lalu pada
tahap berikutnya dikodifikasikan secara mandiri. Kemudian muncul tafsir bil
ma’tsur (yang menggunakan dalil dari Alquran, hadits Nabi, serta perkataan para
sahabat dan salafushshalih) dan tafsir bir ra’yi (yang menggunakan akal atau
pendapat pribadi). Dalam bidang ilmu tafsir muncul karya-karya tematik yang
berkaitan dengan tafsir Alquran yang cukup penting bagi seorang mufassir.
Ali bin Al-Madini, guru Imam
Al-Bukhari (w. 234 H) yang berkaitan tentang Asbabun Nuzul. Abu Ubaid
Al-Qasim bin Sallam (w. 224 H) melahirkan karya tentang nasikh mansukh dan
masalah qiraat. Juga, Syaikh Thahir Al-Jazairi menulis satu buku “At-Tibyan
Fi ‘Ulum Al-Qur’an,” Syaikh Muhammad Ali Salamah menerbitkan “Manhaj
Al-Furqan Fi ‘Ulum Al-Qur’an,” lalu Syaikh Muhammad Abdul Azhim Az-Zarqani
menulis “Manahil Al-Irfan Fi ‘Ulum Al-Qur’an.”[16]
Metodologi Ulumul Alquran pada fase
kodifikasi ini, secara umum terbagi atas dua bagian yaitu:
1.
Metode
Transmisi (periwayatan).
Pada metode ini cara yang digunakan untuk mendapatkan ilmu ini
adalah berdasarkan periwayatan dari orang-orang yang melihat dan mendengar
langsung tentang turunnya ayat Al-Quran yang dimaksud. Cabang-cabang Ulumul
Quran yang menggunakan metode ini adalah: Asbabun
Nuzul, Makkiyyah dan Madaniyyah, Ilmu Qiraat, ilmu Nasikh-Mansukh.
2.
Metode
Analogi (Ijtihad).
Pada metode ini cara yang digunakan untuk mendapatkan ilmu ini
adalah berdasarkan ijtihad jika tidak ditemukannya riwayat baik dari Nabi
maupun para sahabat. Oleh karena itu tidak ada keharusan mencari riwayat pada
setiap ayat. Hal ini disebabkan, Alquran diturunkan secara berangsur-angsur mengikuti berbagai kejadian
yang ada. Sehingga seorang mufassir terkadang tidak menemukan sebab, pengertian
dan keterkaitan antara ayat yang satu dengan yang lainnya. Cabang-cabang Ulumul
Quran yang menggunakan metode ini adalah: Asbabun
Nuzul, Munasabah, Makkiyyah dan Madaniyyah, ilmu Nasikh-Mansukh, ilmu I’jazul
Quran.[17]
D. Ulumul Quran dalam
Kajian Aksiologi
Aksiologi dalam
filsafat ilmu berbicara tentang kegunaan dari sebuah ilmu. Untuk apa ilmu itu
dipelajari? Apa nilai manfaat untuk kehidupan manusia?
Maka aksiologis
Ulumul Quran tidak
terlepas dari tujuan Alquran itu
sendiri. Alquran seperti
diyakini kaum muslimin merupakan
kitab hidayah, petunjuk bagi manusia dalam membedakan yang haq
dengan yang batil. Dalam berbagai versinya Alquran sendiri
menegaskan beberapa sifat dan ciri yang melekat dalam dirinya, di antaranya
bersifat transformatif. Yaitu membawa misi perubahan untuk mengeluarkan manusia
dari kegelapan-kegelapan (Zhulumat) di bidang akidah, hukum,
politik, ekonomi, sosial budaya dan lain-lain kepada sebuah cahaya (Nur)
petunjuk Ilahi untuk menciptakan kebahagiaan dan kesentosaan hidup manusia,
dunia-akhirat. Dari prinsip yang diyakini kaum muslim inilah usaha-usaha
manusia muslim dikerahkan untuk menggali format-format petunjuk yang dijanjikan
bakal mendatangkan kebahagiaan bagi manusia.
Dalam upaya
penggalian prinsip dan nilai-nilai Qur'ani yang berdimensi keilahian dan
kemanusiaan itulah Ulumul Quran
dihasilkan. Sementara tujuan pokok Alquran seperti dipaparkan M. Quraish Shihab adalah:
a.
Petunjuk
akidah dan kepercayaan yang harus dianut oleh manusia yang tersimpul dalam
keimanan akan keesaan Tuhan dan kepercayaan akan kepastian adanya hari
pembalasan.
b.
Petunjuk
mengenai akhlak yang murni dengan jalam menerangkan norma-norma keagamaan dan
susila yang harus diikuti oleh manusia dalam kehidupannya secara individual
atau kolektif.
c. Petunjuk mengenai syariat dan hukum dengan jalan menerangkan
dasar-dasar hukum yang harus diikuti oleh manusia dalam hubungannya dengan
Tuhan dan sesamanya.
Melaksanakan
ajaran Islam tidaklah akan berhasil kecuali dengan memahami dan menghayati
Alquran terlebih dahulu, serta berpedoman atas nasihat dan petunjuk yang
tercakup di dalamnya. Untuk itulah diperlukan Ulumul Quran yang merupakan kunci pemahaman kita
terhadap Alquran. Maka urgensi mempelajari Ulumul Quran antara lain:
1.
Untuk dapat memahami Kalamullah, yang sejalan dengan keterangan dan
penjelasan dari Rasulullah Saw., serta keterangan yang dikutip oleh sahabat dan
tabi’in tentang isi kandungan makna Alquran.
2.
Untuk mengetahui cara dan gaya yang dipergunakan oleh para Mufassir
dalam menafsirkan Alquran dan kelebihan-kelebihannya.
3.
Untuk mengetahui persyaratan-persyaratan dalam menafsirkan Alquran.
Dari uraian di atas tersebut semuanya bisa diikhtisarkan bahwa Alquran
kitab suci agama Islam, diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw., yang merupakan
mukjizat. Diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab dengan gaya bahasa yang
indah, petunjuk hidup bagi manusia yang mengandung berbagai redaksi isi ajaran
dan aturan bagi segenap makhluk.[18]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
pembahasan yang telah disebutkan di atas dapat disimpulkan bahwa kata Ulumul
Quran secara etimologi berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kata,
yaitu ‘ulum dan Alquran. Kata ‘ulum
adalah bentuk jama’ dari kata “ilmu” yang berarti ilmu-ilmu. Kata ulum yang
disandarkan kepada kata Alquran telah memberikan pengertian bahwa ilmu ini
merupakan kumpulan sejumlah ilmu yang berhubungan dengan Alquran, baik dari
segi keberadaanya sebagai Alquran maupun dari segi pemahaman terhadap petunjuk
yang terkandung di dalamnya. Sedangkan secara terminologi dapat disimpulkan
bahwa Ulumul Quran adalah ilmu yang membahas hal-hal yang berhubungan dengan
Alquran, baik dari aspek keberadaanya sebagai Alquran maupun aspek pemahaman
kandunganya sebagai pedoman dan petunjuk bagi manusia.
Ulumul
Quran merupakan suatu ilmu yang mempunyai ruang lingkup pembahasan yang luas.
Ulumul Quran meliputi semua ilmu yang ada kaitanya dengan Alquran, baik
berupa ilmu-ilmu agama, seperti ilmu tafsir maupun ilmu-ilmu bahasa Arab.
Disamping itu, masih banyak lagi ilmu-ilmu yang tercakup di dalamnya.
Secara
garis besar Ilmu Alquran terbagi dua pokok bahasan yaitu :
1. Ilmu yang berhubungan dengan riwayat semata-mata,
seperti ilmu yang membahas tentang macam-macam qira’at, tempat turun ayat-ayat
Alquran, waktu-waktu turunnya dan sebab-sebabnya.
2. Ilmu yang berhubungan dengan dirayah, yakni ilmu yang
diperoleh dengan jalan penelaahan secara mendalam seperti memahami lafadz yang
ghorib (asing) serta mengetahui makna ayat-ayat yang berhubungan dengan hukum.
B.
Saran
Penulis
telah memberikan gambaran umum tentang Ulumul Quran dalam kajian Ontologi,
Epistemologi, dan Aksiologi. Namun tidak menutup kemungkinan banyak persoalan
seputar tema yang diangkat yang belum tuntas, sehingga perlu tinjauan kembali
dari para pembaca, dan lebih khusus kepada dosen pembina untuk memberikan
kritik dan saran yang membangun demi perbaikan makalah ini dan semoga makalah
ini menjadi bermanfaat bagi para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qaththan, Syaikh Manna. 2005. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an.
Cet. 1. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Anwar, Rosihan. 2008. Ulum
Al-Quran. Bandung: Pustaka Setia.
Ash-Shiddieqy, Hasbi. 2010.Sejarah
dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. Semarang: Pustaka Rizki
Putra.
Chalik, Chaerudji Abd. 2013. Ulum Al-Quran. Jakarta: Hartomo
Media Pustaka.
Cjirzin, Muhammad. 1998.Al-Qur’an
& Ulumul Qur’an. Yogyakarta: PT
Dana Bakti Prima Yasa.
Hermawan, Acep. 2011. ‘Ulumul Quran: Ilmu Untuk Memahami Wahyu,
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Sari, Muhammad. 2014. ‘Ulumul Qur’an II. Institut Agama Islam
Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten.
Shihab, M. Quraish. 2014.Membumikan
Al-Qur’an. Cet.
1.Bandung: PT
Mizan Pustaka.
Suriasumantri, Jujun S. 2017. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Syamsuddin, Hatta. 2008. Modul
Ulum Al-Qur’an. Surakarta: Pesantren Ar
Royan.
Yahya, Harun. 2002.Pesona
Al-Qur’an. Cet. 1. Jakarta:
Robbani Press.
[1] Harun Yahya, Pesona
Al-Qur’an, Cet. 1, (Jakarta: Robbani Press, 2002),3.
[2] Yahya, Pesona Al-Qur’an…, 3.
[3] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Cet. 1, (Bandung: PT
Mizan Pustaka, 2014), 36.
[4] Shihab, Membumikan Al-Quran…, 46.
[5] Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi
Ilmu Al-Qur’an, Cet. 1, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), X.
[6] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu
Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2017), 35.
[7] Muhammad Sari, ‘Ulumul Qur’an II,
(Institut Agama Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten, 2014), 1.
[8] Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, (Semarang: Pustaka Rizki Putra,
2010), 1.
[9] Acep Hermawan, ‘Ulumul Quran: Ilmu Untuk
Memahami Wahyu, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), 2.
[10]Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an…,
2-3.
[11]
Chaerudji Abd. Chalik, Ulum Al-Quran, (Jakarta: Hartomo Media
Pustaka, 2013), 1.
[12] Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an…,
10.
[13] Hatta Syamsuddin,Modul Ulum Al-Qur’an, (Surakarta: Pesantren Ar Royan, 2008), 6.
[14] Rosihan Anwar,Ulum Al-Quran, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), 17.
[15] Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an…,
3-5.
[16] Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an…,
7-10.
[17]Rosihan Anwar,Ulum Al-Quran…,
24.
[18] Muhammad Cjirzin, Al-Qur’an & Ulumul Qur’an, (Yogyakarta:
PT Dana Bakti Prima Yasa, 1998), 10.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar